Depok, Jawa Barat. Alhamdulillah telah dilaksanakan seminar
IAEI yang ke 11 di Kampus STEI SEBI. Menghadirkan 3 pembicara yaitu
Irfan Syauqi Beik Phd., Endang Ahmad Yani dan Tomy Hendrajati, ketiga
pembicara tersebut mengupas secara tuntas zakat dikaitkan dari sisi
keilmuan, praktek dan kelembagaan dari zakat yang telah berjalan
dimasyarakat. Acara tersebut di buka oleh Tim Nasyid dari STEI SEBI
dengan Keynote Specch oleh Bapak Drs. Agustianto M.Ag (Ketua 1 Ikatan
Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI))
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Peneliti STEI SEBI yaitu
Endang Ahmad Yani mendeskripsikan bahwa BAZ dan LAZ belum mendapatkan
kepercayaan publik. Bahkan pada beberapa daerah PNS sendiri masih enggan
membayar Zakat melalui BAZ. Minimnya pengetahuan masyarakat terhadap
fiqih Zakat. Hal utama yang mengakibatkan Zakat nilainya menjadi kecil
dibanding potensinya karena pemahaman masyarakat yang salah. Misalkan
ketika sudah membayar Zakat fitrah maka Zakat harta dan Zakat profesi
tidak perlu lagi dibayar dan Masyarakat masih memandang bahwa membayar
Zakat secara langsung ke mustahiq lebih baik.
Kaitannya dengan itu PKPU sebagai salah satu NGO di Indonesia
yang memiliki program pengembangan masyarakat menengah kebawah, dan
program yang pernah dilakukan diantarannya, Pengembangan Desa Muncang
Menjadi Sentra Produksi Pisang Ambon, Peningkatan jumlah penerima
manfaat dari 30 orang pada awal program menjadi 50 orang, pengembangan
jaringan marketing bagi pemasaran produk pertanian masyarakat, pendirian
kelompok tani “Waluya” yang berperan sebagai sarana dan keberlanjutan
program terkait sistem produksi dan marketing setelah program berakhir,
dan Penggalian potensi masyarakat melalui kerjasama antara masyarakat,
LSM (PKPU) dan akademisi (IPB).
PKPU juga mengaharapkan pelaksanaan program dapat terus
didukung melalui pengembangan dari sektor zakat. Potensi Zakat Nasional
pada tahun 2012 adalah 3,4 % PDB atau sebesar Rp. 217 Triliun. Proyeksi
lima tahun BAZNAS selama 5 tahun kedepan diharapkan juga terus meningkat
melalui proyeksi Fondasi, Konsolidasi, pertumbuhan, percepatan dan
pemantapan.
Kesimpulannya singkronisasi dalam terhadap perdayaan zakat
dalam pengembangan ekonomi umat perlu dilaksanakan dengan baik dan
perubahan dalam sikap untuk membayar zakat perlu digencarkan lagi. Acara
tersebut dihadiri oleh akademisi, praktisi BUMN dan Kementrian Keuangan
RI.
Sumber : http://www.iaei-pusat.org/article/ekonomi-syariah/pemberdayaan-zakat-untuk-kemajuan-ekonomi-umat
Musik
Kamis, 03 Oktober 2013
Zakat Untuk Pemerataan Kesejahteraan: Potensi Yang Belum Optimal untuk ekonomi kalangan Masyarakat
Penerapan sistem ekonomi terkait
perbankan dan keuangan berdasarkan syariah telah berkembang secara
signifikan khususnya di Malaysia dan Indonesia yang menandai kebangkitan sistem
ekonomi yang bersandarkan pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan perbankan
dan keuangan syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh sistem
ekonomi konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah bercokol cukup lama di
negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk memurnikan
kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur yang bertentangan dan berlawanan dengan
prinsip ajaran Islam (Al Quran dan Hadist).
Ekonomi Islam memang tidak memiliki
sejumlah teori khusus dan rinci yang menerangkan ilmu (sains) ekonomi
sebagaimana ekonomi kapitalistik ditata dan disebarluaskan. Namun, ekonomi
Islam mempunyai konsep normatif seperti mengenai larangan riba, hal kepemilikan
harta dan pekerjaan, penguasaan barang atas hajat hidup orang banyak (public
goods) serta jaminan dan solidaritas sosial (pengentasan kemiskinan)
melalui pemberdayaan konsep zakat. Pada masa Rasulullah prinsip-prinsip Islam
tentang kehidupan bermasyarakat dijalankan secara sempurna dan bermanfaat
sehingga menarik perhatian banyak kalangan yang belum mengerti ajaran Islam.
Maka tak heran jika perkembangan agama Islam menjadi begitu meluas
menembus batas jazirah Arab.
EKONOMI ISLAM
Pada dasarnya Ekonomi Islam yang merupakan sistem ekonomi syariah itu berdiri tegak pada azas-azas kebersamaan dan keadilan dalam mencapai tujuan. Paling tidak terdapat empat prinsip yang melandasi praktik ekonomi Islam.
Pada dasarnya Ekonomi Islam yang merupakan sistem ekonomi syariah itu berdiri tegak pada azas-azas kebersamaan dan keadilan dalam mencapai tujuan. Paling tidak terdapat empat prinsip yang melandasi praktik ekonomi Islam.
Pertama, anjuran membelanjakan harta
di jalan Allah semaksimal mungkin guna tercapainya keadilan dan kesejahteraan
sosial. Malalui prinsip ini kemudian terejawantahkan konsep zakat, sedekah,
infak, wakaf dan sebagainya. Pada dasarnya Islam tidak mentolerir
terjadinya kesenjangan mencolok antara kaum the have dengan kalangan the
have not.
Kedua, larangan untuk melakukan
riba. Para ulama memang terpecah pendapat dalam menyikapi apakah bunga bank
termasuk riba? Namun demikian pada dasarnya mereka sama-sama sepakat bahwa
apabila ada dua orang melakukan transaksi (bisnis) tidak boleh ada salah
seorang diperlakukan “kalah” sehingga muncul skema win-lose, salah
seorang menderita kerugian dari pada yang lain. Sehingga muncul ketidak-adilan
dalam menanggung resiko.
Lalu muncul prinsip ketiga, membagi
resiko bersama (risk sharing). Jika suatu usaha yang dikelola bersama
mengalami kerugian maka para pihak dapat menanggung resiko secara bersama-sama
secara adil dan bijaksana, tidak boleh salah satu pihak merasa tidak puas
karena didzholimi.
Terkait prinsip ketiga maka terdapat
prinsip keempat yaitu melarang terjadinya eksploitasi dari satu manusia pada
manusia lainnya. Artinya, salah satu pihak yang bersepakat untuk suatu usaha
(bisnis) tidak boleh menjadi kaya sendiri sementara pihak lain dalam situasi
menderita. Dalam konteks ini maka pembagian keuntungan yang berat sebelah dalam
suatu kontrak karya (proyek bisnis) misalnya bisa disebut sebagai kontrak karya
yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Prinsip kelima adalah larangan
melakukan usaha yang bersifat spekulasi. Contoh kongkrit adalah judi. Setiap
usaha telah ditelaah, direncanakan matang, tertata baik dan logis, lalu
prediksi dan antisipasi dilakukan sesuai prinsip rasionalitas bukan
didasarkan perilaku spekulatif yang nir data dan informasi tidak akurat.
Prinsip ini merupakan pengejawantahan manajemen modern. Namun manusia acapkali
serakah dan amoral yang membuat prinsip diatas terabaikan.
Pada masa kejayaan Islam suasana
kehidupan dan kesejahteraan masyarakat terperhatikan, prinsip keadilan ditegakkan,
tauhid sosial juga dipraktikkan melalui kepedulian terhadap kaum papa dan
lemah. Jaminan dan solidaritas sosial yang dibangun dari prinsip Islam yakni
mengoptimalkan peran dan fungsi zakat mampu menjembatani kesenjangan si kaya
dan si miskin Kegiatan praktik bisnis bersifat eksploitasi, curang dan serakah
dicegah dan dilarang.
OPTIMALISASI ZAKAT UNTUK
KESEJAHTERAAN
Sekarang ini negara-negara Islam hanya mampu menerapkan sebagian (terpisah-pisah) dari sistem ekonomi Islam seperti perbankan, pembiayaan dan asuransi sharia. Kenyataan bahwa paradigm yang sudah tersurat dan tersirat dalam ajaran Islam ini memang masih belum dioptimalkan oleh umat Islam itu sendiri karena kuatnya pengaruh ekonomi konvensional.
Sekarang ini negara-negara Islam hanya mampu menerapkan sebagian (terpisah-pisah) dari sistem ekonomi Islam seperti perbankan, pembiayaan dan asuransi sharia. Kenyataan bahwa paradigm yang sudah tersurat dan tersirat dalam ajaran Islam ini memang masih belum dioptimalkan oleh umat Islam itu sendiri karena kuatnya pengaruh ekonomi konvensional.
Salah satu instrumen untuk
pemerataan kesejahteraan masyarakat dalam pandangan ekonomi Islam adalah zakat.
Konsep zakat semestinya dapat diberdayakan untuk menjembatani kesenjangan
ekonomi antara si kaya dan si miskin sehingga akan mampu mewujudkan keadilan
sosial yang pada gilirannya kondusif bagi perkembangan iklim usaha. Sudahkan
konsep ini diterapkan optimal?
Zakat belum dijadikan mainstream
pengambilan kebijakan ekonomi pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan secara
menyeluruh. Padahal potensi itu terbuka lebar dan hasil analisis menunjukkan
bahwa persoalan kesenjangan kaya dan miskin tidak akan melebar bahkan mengecil
asalkan kebijakan dan manajemen zakat secara komprehensif dibenahi dan
diberdayakan oleh pemerintah (hasil penelitian Kholilah CIES UB Malang 2011).
Penulis yakin pengentasan kemiskinan dapat teratasi dengan mengeluarkan
kebijakan untuk mengintegrasikan zakat profesi dan pajak penghasilan.
Sebagaimana di Malaysia, bentuk integrasinya dengan mensosialisasikan zakat
sebagai pengurang penghasilan kena pajak sesuai UU No. 2000 tentang Pajak
Penghasilan. Jumlah zakat yang terkumpul tentu perlu diawasi penggunaannya,
tidak boleh dipakai untuk pembangunan infrastruktur, sarana prasarana publik,
karena pembayar zakat tidak boleh ikut menikmati hasil zakat. Hal ini karena
zakat dalam Islam memang diperuntukkan untuk pengentasan kemiskinan alias
pemerataan kesejahteraan. Selain dapat mengentaskan kemiskinan, apabila
kebijakan ini diterapkan justru memungkinkan bertambahnya jumlah wajib pajak
(WP) karena secara psikologis WP Muslim akan merasa diperlakukan adil dan
banyak manfaat, sehingga mendorongnya bersikap jujur dalam membayar pajak.
Bertambahnya WP berarti meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan.
Konsep zakat yang berfungsi untuk
pemerataan kesejahteraan umat ini adalah bagian dari ekonomi Islam. Namun
sayangnya masyarakat Muslim termasuk pemerintah tampak lebih sibuk dengan
perbankan dan keuangan syariah semata. Sehingga tidak heran jika mencuat
pertanyaan, bisakah ekonomi Islam memberikan sumbangan berarti bagi
kesejahteraan rakyatnya di suatu Negara berdaulat yang mayoritas beragama
Islam? Hal ini karena awam melihat ekonomi Islam masih sebatas perbankan dan
keuangan yang dalam berbagai aspek operasional masih mirip dengan sistem
ekonomi konvensional. Disisi lain kita masih terpaku dan hanya berkutat pada
perbankan dan keuangan syariah semata, sementara zakat belum terperhatikan
dengan baik dan sistematik.
- Sumber :
http://fossei.org/2013/04/zakat-untuk-pemerataan-kesejahteraan-potensi-yang-belum-optimal/#sthash.0z2ZoHJI.dpuf
Pengaruh Zakat Terhadap Ekonomi
ZAKAT DAN PENGARUHNYA TERHADAP EKONOMI
Sebelum
memasuki pembahasan kita ada baiknya kita mengetahui apa itu zakat dan hukum
melaksanakannya.
A.Definisi Zakat
Secara etimologi, zakat memiliki beberapa makna
yang di antaranya adalah suci. “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan
jiwa itu.” (QS. Asy-Syams: 9). Maksudnya adalah suci dan dosa dan kemaksiatan.
Selain itu, zakat bisa bermakna tumbuh dan berkah. Secara syar’i, zakat adalah
sedekah tertentu yang diwajibkan dalam syariah terhadap harta orang kaya dan
diberikan kepada orang yang berhak menerimanya.
B.
Hukum Zakat
Allah mewajibkan zakat kepada setiap
Muslim (lelaki dan perempuan) atas hartanya yang telah mencapai nishab. Zakat
merupakan instrumen dalam mensucikan harta dengan membayarkan hak orang lain.
Selain itu, zakat merupakan mediator dalam mensucikan diri dan hati dari
rasa kikir dan cinta harta. Dan zakat merupakan instrument social untuk
kebutuhan dasar fakir dan miskin.
Allah Swt berfirman, “Ambillah zakat
dan sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkannya dan mensucikan
mereka…” (QS. At- Taubah: 103)
Zakat
pertama kali diwajibkan, tidak ditentukan kadar dan jumlahnya, tetapi hanya
diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan fakir dan miskin. Namun setelah Rasulullah
hijrah ke Madinah, diberlakukanlah beberapa ketentuan dan syarat yang harus
dipenuhi dalam zakat.
Zakat
merupakan salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi
tegaknya syariat Islam. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas
setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam
kategori ibadah (seperti shalat, haji, dan puasa) yang telah diatur secara
rinci dan paten berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, sekaligus merupakan amal
sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan
perkembangan.
C.Hikmah Zakat
1. Hikmah Diniyah (Agama)
a)
Dengan berzakat berarti telah
menjalankan salah satu dari rukun Islam yang menghantarkan seorang hamba kepada
kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akhirat.
b)
Merupakan sarana bagi hamba untuk
taqarrub (mendekatkan diri) kepada Rabbnya, akan menambah keimanan karena
keberadaannya yang memuat beberapa macam ketaatan.
c)
Pembayar zakat akan mendapatkan
pahala besar yang berlipat ganda, sebagaimana firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala
:
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
Artinya: “Alloh memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah” (QS: Al Baqarah: 276).
Dalam sebuah hadits yang muttafaq ‘alaih Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam juga menjelaskan bahwa shadaqah dari harta yang baik akan ditumbuhkan kembangkan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala berlipat ganda.
Zakat merupakan sarana penghapus dosa, seperti yang
pernah disabdakan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam
2. Hikmah
Khuluqiyah (Akhlah)
a)
Menanamkan sifat kemuliaan, rasa
toleran dan kelapangan dada kepada pribadi pembayar zakat.
b)
Pembayar zakat biasanya identik
dengan sifat rahmah (belas kasih) dan lembut kepada saudaranya yang tidak
punya.
c)
Merupakan realita bahwa
menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat baik berupa harta maupun raga bagi kaum
muslimin akan melapangkan dada dan meluaskan jiwa. Sebab sudah pasti ia kan menjadi
orang yang dicintai dan dihormati sesuai tingkat pengorbanannya.
d)
Di dalam zakat terdapat penyucian
terhadap akhlak.
3. Hikmah Ijtimaiyyah (Sosial)
a)
Zakat merupakan sarana untuk
membantu dalam memenuhi hajat hidup para fakir miskin yang merupakan kelompok
mayoritas sebagian besar negara di dunia.
b)
Memberikan support kekuatan bagi
kaum muslimin dan mengangkat eksistensi mereka.Ini bisa dilihat dalam kelompok
penerima zakat, salah satunya adalah mujahidin fi sabilillah.
c)
Zakat bisa mengurangi kecemburuan
sosial, dendam dan rasa dongkol yang ada dalam dada fakir miskin. Karena
masyarakat bawah biasanya jika melihat mereka yang berkelas ekonomi tinggi
menghambur-hamburkan harta untuk sesuatu yang tidak bermanfaaat bisa tersulut
rasa benci dan permusuhan mereka. Jikalau harta yang demikian melimpah itu
dimanfaatkan untuk mengentaskan kemiskinan tentu akan terjalin keharmonisan dan
cinta kasih antara si kaya dan si miskin.
d)
Zakat akan memacu pertumbuhan
ekonomi pelakunya dan yang jelas berkahnya akan melimpah.
e)
Membayar zakat berarti memperluas
peredaran harta benda atau uang, karena ketika harta dibelanjakan maka
perputarannya akan meluas dan lebih banyak fihak yang mengambil manfaat.
D.Pengaruh Zakat dalam Ekonomi
Zakat
merupakan ketentuan yang wajib dalam sistem ekonomi islam (obligatory zakat
system) sehingga pelaksanaannya melalui institusi resmi negara yang memliki
ketentuan hukum. Zakat dikumpulkan, dikelola, atau di distribusikan melalui
lembaga baitul mal.
Ketentuan
yang ditetapkan Allah Swt pada semua aspek kehidupan manusia pada umumnya
memiliki dua fungsi utama yang memberikan manfaat bagi individu (nafs) dan
kolektif (jama’i). Demikian pula halnya dengan sistem zakat dalam ekonomi islam
yang befungsi sebagai alat ibadah bagi orang yang membayar zakat (muzakki) yang
memberikan kemanfaatan individu (nafs), dan berfungsi sebagai penggerak ekonomi
bagi orang-orang dilingkungan yang menjalankan sistem zakat ini, yang
memberikan kemanfaatan kolektif (jama’i).
Adapun pengaruh zakat pada Ekonomi,diantaranya:
1)Zakat mendorong pemilik modal
mengelola hartanya.
Zakat mal itu dikenakan pada harta diam yang dimiliki seseorang setelah satu tahun, harta yang produktif tidak dikenakan zakat. Jadi, jika seseorang menginvestasikan hartanya, maka ia tidak dikenakan kewajiban zakat mal. Hal ini dipandang mendorong produktifitas, karena uang yang selalu diedarkan di masyarakat, akhirnya perputaran uang beredar bertambah. Akhirnya perekonoian suatu negara akan berjalan lebih baik.
Zakat mal itu dikenakan pada harta diam yang dimiliki seseorang setelah satu tahun, harta yang produktif tidak dikenakan zakat. Jadi, jika seseorang menginvestasikan hartanya, maka ia tidak dikenakan kewajiban zakat mal. Hal ini dipandang mendorong produktifitas, karena uang yang selalu diedarkan di masyarakat, akhirnya perputaran uang beredar bertambah. Akhirnya perekonoian suatu negara akan berjalan lebih baik.
2) Meningkatkan etika bisnis. Kewajiban
zakat dikenakan pada harta yang diperoleh dengan cara yang halal. Zakat memang
menjadi pembersih harta, tetapi tidak membersihkan harta yang diperoleh secara
batil. Maka hal ini akan mendorong pelaku usaha agar memperhatikan etika bisnis
3) Pemerataan pendapatan.
Pengelolaan zakat yang baik, dan alokasi yang tepat sasaran akan mengakibatkan
pemerataan pendapatan. Hal inilah yang dapat memecahkan permasalahan utama
bangsa Indonesia (kemiskinan). Kemiskinan di Indonesia tidak terjadi karena
sumber pangan yang kurang, tetapi distribusi bahan makanan itu yang tidak
merata, sehingga banyak orang yang tidak memiliki kemudahan akses yang sama
terhadap bahan pangan tersebut. Dengan zakat, distribusi pendapatan itu akan
lebih merata dan tiap orang akan memiliki akses lebih terhadap distribusi
pendapatan.
4) Pengembangan sektor riil.
Salah satu cara pendistribusian zakat dapat dilakukan dengan memberikan bantuan
modal usaha bagi para mustahiq. Pendistribusian zakat dengan cara ini akan
memberikan dua efek yaitu meningkatkan penghasilan mustahiq dan juga akan
berdampak pada ekonomi secara makro. Usaha yang dilakukan tersebut merupakan
usaha yang meningkatkan sektor riil, menggerakkan pertumbuhan dan aktifitas
perekonomian. Hal ini sangat erat kaitannya dengan daya saing kompetitif dan
komparatif suatu bangsa. Ukuran produktifitas suatu bangsa dapat dilihat dari
kemampuan sektor riil-nya dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat.
Sumber dana pembangunan. Banyak kaum dhuafa yang sangat sulit mendapatkan
fasilitas kesehatan, pendidikan, maupun sosial ekonomi. Lemahnya fasilitas ini
akan sangat berpengaruh dalam kehidupan kaum termarjinal. Kesehatan dan
pendidikan merupakan modal dasar agar SDM yang dimiliki oleh suatu negara
berkualitas tinggi.Peran dana zakat sebagai sumber dana pembangunan fasilitas
kaum dhuafa akan mendorong pembangunan ekonomi jangka panjang. Dengan
peningkatan kesehatan dan pendidikan diharapkan akan memutus siklus kemiskinan
antar generasi.
Strategi Pembangunan Zakat Nasional
Salah satu upaya mendasar dan fundamental untuk mengentaskan atau memperkecil masalah kemiskinan adalah dengan cara mengoptimalkan pelaksanaan zakat. Demikian pendapat Dr Yusuf Qardlawi, salah seorang ulama dan penulis yang sangat produktif, dalam sebuah bukunya yang berjudul Musykilatul Faqri wa Kaifa 'Aalajaha al-Islam (Problematika Kefakiran/Kemiskinan dan Bagaimana Solusinya menurut Islam).
Hal itu dikarenakan zakat adalah sumber dana yang tidak akan pernah kering dan habis. Maksudnya, selama umat Islam memiliki kesadaran untuk berzakat dan selama dana zakat tersebut mampu dikelola dengan baik, maka dana zakat akan selalu ada serta bermanfaat untuk kepentingan dan kemaslahatan masyarakat.
Kita bisa melihat bahwa pertumbuhan pengelolaan zakat di Indonesia sangat menggembirakan, terutama dalam 15 tahun terakhir. Jika sebelum tahun 1990-an pengelolaan zakat masih bersifat terbatas, tradisional, dan individual, maka sesudah itu, pengelolaan zakat memasuki era baru. Unsur-unsur profesionalisme dan manajemen modern mulai coba diterapkan. Salah satu indikatornya adalah bermunculannya badan-badan dan lembaga-lembaga amil zakat baru yang menggunakan pendekatan-pendekatan baru --yang berbeda dengan sebelumnya.
Implikasinya, amil kini telah tumbuh menjadi profesi baru. Amil tidak lagi dipandang sebagai profesi sambilan, yang dikerjakan secara asal-asalan, dan dengan tenaga dan waktu sisa. Saat ini, amil memerlukan konsentrasi dan aktivitas kerja secara full time. Amil juga tidak lagi menjadi aktivitas yang dilaksanakan menjelang Idul Fitri saja, melainkan sebuah profesi yang dikerjakan sepanjang waktu.
Memasuki pintu negara
Pada akhir dekade 90-an, tepatnya pada tahun 1999, pengelolaan zakat mulai memasuki level negara, setelah sebelumnya hanya berkutat pada tataran masyarakat. Hal tersebut ditandai dengan disahkannya Undang-undang (UU) No 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat. UU inilah yang menjadi landasan legal formal pelaksanaan zakat di Indonesia, walaupun di dalam pasal-pasalnya masih terdapat berbagai kekurangan dan kelemahan yang harus diperbaiki dan disempurnakan.
Sebagai konsekuensi UU tersebut, pemerintah (tingkat pusat sampai daerah) wajib memfasilitasi terbentuknya lembaga pengelola zakat. Yaitu Badan Amil Zakat Nasional(BAZNAS) untuk tingkat pusat dan Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) untuk tingkat daerah. BAZNAS dan BAZDA-BAZDA bekerja sama dengan Lembaga Amil Zakat (LAZ), baik yang bersifat nasional maupun daerah. Sehingga diharapkan bisa terbangun sebuah sistem zakat nasional yang baku, yang bisa diaplikasikan oleh semua pengelola zakat. Pemerintah pusat maupun daerah diharapkan memberikan perhatian penuh terhadap lembaga zakat ini, sehingga bisa bekerja secara profesional dan transparan. Dengan cara ini diharapkan problematika kemiskinan yang terjadi di negara kita secara bertahap dapat direduksi.
Strategi pokok
Secara nasional, zakat memiliki potensi menggembirakan. Menurut sebuah studi, potensinya mencapai angka Rp 6-7 triliun setiap tahun. Dalam studi lain, PIRAC menemukan potensi zakat mencapai Rp 4,3 triliun. Namun dalam riset terbaru yang dilakukan oleh Pusat Budaya dan Bahasa UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, potensi tersebut mencapai angka Rp 19,3 triliun. Menurut analisa penulis, potensi zakat saat ini memang mencapai angka Rp 19-20 triliun. Idealnya, potensi zakat itu mestinya minimal 2,5 persen dari total GDP negara.
Tentu saja, data-data tersebut memberikan gambaran kepada kita bahwa zakat bila dikelola dengan baik bisa menjadi sumber kekuatan dalam memberdayakan kondisi perekonomian negara dan masyarakat. Untuk itu, dibutuhkan dukungan kuat dari seluruh pihak, agar pengelolaan zakat ini dapat terlaksana dengan baik. Pada kesempatan ini, penulis ingin menguraikan beberapa strategi pokok pembangunan zakat ke depan. Paling tidak, ada empat strategi yang harus dikembangkan. Pertama, meningkatkan sosialisasi kepada seluruh komponen bangsa.
Yang menjadi target utama sosialisasi ini adalah kalangan pejabat, baik eksekutif, legislatif, yudikatif, ulama, akademisi, praktisi bisnis, dan masyarakat umum secara keseluruhan. Tujuannya agar elemen-elemen tersebut memiliki kesadaran kolektif akan urgensi dan pentingnya berzakat, terutama berzakat melalui lembaga yang amanah, baik BAZ maupun LAZ. Para pejabat, misalnya, diharapkan mengeluarkan kebijakan yang senantiasa memiliki orientasi keberpihakan nyata terhadap pemungutan dan pendistribusian zakat. Sehingga berbagai hambatan regulasi dan aturan dapat diminimalisasi.
Kalangan ulama pun diharapkan menjadi agen pemberi informasi zakat yang tepat kepada masyarakat. Hendaknya masyarakat dibimbing untuk berzakat melalui BAZ dan LAZ yang dapat dipercaya. Dan masih banyak contoh lain. Pendeknya, semua pihak harus memiliki kesadaran bahwa berzakat melalui lembaga memberikan keuntungan-keuntungan. Antara lain menjamin efektivitas, efisiensi, dan ketepatan sasaran dalam pendayagunaan zakat. Kedua, penguatan lembaga-lembaga zakat yang ada, baik BAZ maupun LAZ. Ada beberapa aspek yang perlu diperkuat. Antara lain sumber daya manusia (SDM), program kerja, standardisasi mekanisme kerja dan auditing, penguatan database muzakki dan mustahik, serta regulasi yang mendukung perkembangan BAZ dan LAZ. BAZNAS sebagai lembaga zakat di tingkat nasional harus menjadi akselerator proses penguatan ini.
SDM yang ada haruslah memiliki komitmen kuat. Antara lain diindikasikan kesediannya mencurahkan waktu secara khusus sebagai amil, mengembangkan kemampuan mengelola dan mendayagunakan zakat, serta senantiasa mengedepankan prinsip-prinsip kejujuran, profesionalisme, dan transparansi dalam setiap aktivitasnya. Kemudian pelatihan-pelatihan yang mendorong pada peningkatan skill dan keterampilan perlu diperbanyak kuantitasnya, serta ditingkatkan kualitasnya.
Sementara itu, setiap BAZ dan LAZ harus memiliki program kerja yang jelas dan terukur. Sasaran-sasaran program harus dapat didefinisikan secara jelas dan gamblang. Kemudian perlu juga dibangun standar mekanisme kerja BAZ/LAZ, yang didukung mekanisme audit yang transparan, sebagai bukti public accountability BAZ/LAZ.
Memang, penulis akui, sampai saat ini belum ada standar yang bersifat nasional. Karena itu, diharapkan BAZNAS periode sekarang mampu merumuskan standardisasi ini, yang tentu saja dengan dukungan dan bantuan pihak-pihak lain, termasuk masukan-masukan dari BAZ dan LAZ. Ketiga, mengefektifkan pendayagunaan zakat. Dalam langkah ini, ada dua indikator utama yang menentukan apakah dana zakat telah didayagunakan secara tepat atau tidak. Indikator pertama adalah shariah-compliance, kesesuaian dengan nilai-nilai syariat Islam. Ini sangat penting karena zakat adalah ibadah yang memiliki rambu-rambu syariah jelas. Indikator kedua adalah ketepatan sasaran berdasarkan skala prioritas. Hal ini sangat penting agar dana zakat tidak jatuh kepada orang-orang yang tidak berhak menerima.
Keempat, mengembangkan sinergi antar BAZ dan LAZ yang ada, termasuk dengan komponen masyarakat lainnya, seperti lembaga keuangan syariah. Sinergisitas adalah kunci keberhasilan pembangunan zakat di Indonesia. Sebagai contoh, penguatan database muzakki dan mustahik tidak akan mungkin tercapai bila tidak ada sinergi antarlembaga pengelola zakat. Hingga saat ini, kita belum memiliki data yang akurat mengenai jumlah muzakki dan mustahik di Indonesia, termasuk peta persebarannya. Untuk itu, masalah ketersediaan database ini menjadi sesuatu yang urgen.
Penulis berharap, melalui sinergi yang terjalin dengan kuat, di mana di dalamnya terdapat unsur saling tsiqoh dan percaya yang kuat, maka pembangunan zakat secara nasional akan dapat berjalan dengan baik. Wallahu a'lam.
KH Dr Didin Hafidhuddin, Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional
Sumber: Republika Online
Uang di Mata Pemikir Ekonomi Islam
Walaupun pada awal kemunculan pemikiran ekonomi Keynesian, eksistensi uang dalam ekonomi belum diakui sepenuhnya. Namun seiring dengan peredaran masa dan sejalan dengan perubahan ekonomi, fungsi dan peranan uang dalam ekonomi semakin penting sehingga ia tidak bisa dipisahkan dari sistem ekonomi. Hal ini menyebabkan para ekonom berkonklusi bahwa uang adalah merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan tingkat aktivitas ekonomi sesebuah negara. Setidaknya ada dua alasan mendasar kenapa para ekonom melihat uang itu penting dalam sebuah perekonomian. Pertama adalah karena uang dapat digunakan untuk menentukan jumlah nominal, seperti tingkat harga, dan kedua karena ia juga dapat dijadikan standard untuk menentukan jumlah riel, seperti jumlah riel output dan riel tenaga kerja.
Dalam sejarah Islam, kesadaran akan pentingnya uang dalam sebuah sistem ekonomi telah muncul jauh sebelum ilmu ekonomi itu diakui sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri. Peranan uang dalam ekonomi Islam telah didiskusikan oleh Iman al-Ghazali (1058-1111 M) dalam kitabnya yang terkenal, þIhya Ulum al-Din. Menurut beliau, manusia memerlukan uang sebagai alat perantara/pertukaran (medium of exchange) untuk membeli barang dan jasa. Sementara itu, Ibn Taymiyah (1263) menyebutkan bahwa uang itu tidak hanya berfungsi sebagai medium of exchange, tetapi ia juga berfungsi sebagai alat untuk menentukan nilai (measurement of value). Akhirnya, dalam membahas peranan uang dalam ekonomi, Ibn Qayyim sependapat dengan al-Ghazali, sementara itu Ibn Khaldun lebih cenderung bersetuju dengan pendapat Ibn Taymiyah.
Karena ada instrumen-instrumen ekonomi konvensional baik yang bersifat instrumen policy atau institusional yang tidak sejalan dengan pengajaran al-Quran dan Hadits, maka fungsi dan peranan uang di dalam ekonomi konvensional dan ekonomi Islam adalah berbeda. Sebab mendasar kenapa fungsi uang dalam ekonomi Islam dan ekonomi konvensional berbeda adalah karena dalam sistem ekonomi Islam, interest (riba), perjudian (gambling) dan unsur-unsur tidak jelas, gharar (uncertainty) itu diharamkan agama. Sedangkan ekonomi konvensional melihat semua unsur ini sebagai sesuatu yang normal dan legal.
Dalam ekonomi konvensional, J. M. Keynes (1936) di dalam buku terkenalnya, General Theory of Employment, Interest and Money mengemukan sebuah teori tentang permintaan akan uang yang dikenal dengan liquidity preference (preferensi likuiditas). Teori preferensi likuiditas ini menyebutkan bahwa ada tiga motif utama yang menentukan jumlah permintaan uang dalam sebuah perekonomian, yaitu: motif transaksi (transaction motive); motif berjaga-jaga (precautionary motive); dan motif spekulasi (speculative motive).
Motif transaksi didefinisikan sebagai suatu motif permintaan akan uang yang diperlukan untuk kebutuhan sebuah transaksi. Karena transaksi ini biasanya dilakukan oleh individu dan bisnisman, maka J. M. Keynes membagi motif transaksi ini ke dalam; (a) motif pendapatan (income motive), dan (b) motif bisnis (business motive). Sementara itu, motif berjaga-jaga adalah suatu motif untuk memegang uang dengan tujuan mengantisipasi produksi-produksi yang tidak dapat diprediksikan di masa-masa mendatang. Dalam ekonomi konvensional, motif ini dipengarahui oleh tingkat pendapatan individu dan tingkat suku bunga. Sedangkan, permintaan uang dengan motif spekulasi itu dimaksudkan untuk menghindari kemerosotan nilai modal (capital value) akibat penurunan aktivitas ekonomi. Untuk menghindari kerugian ini, biasa para bisnisman menginvestasikan uangnya (modal) di pasar-pasar saham yang keuntungannya itu sangat ditentukan oleh perbedaan tingkat suku bunga.
Jadi secara jelas dapat kita lihat bahwa dua motif pertama permintaan akan uang, yaitu motif transaksi dan motif berjaga-jaga adalah berkaitang langsung dengan fungsi uang sebagai alat pertukaran (tool of exchange) dalam sebuah perekonomian. Sedangkan motif spekulasi lebih erat kaitannya dengan fungsi uang sebagai alat penyimpan harga atau kekayaan (store of value or wealth). Bila kita komparasikan antara pendapat para pemikir ekonomi Islam dengan pendapat Keynes di atas, jelas terlihat bahwa kecuali motif memegang uang untuk berspekulasi, semua motif untuk memiliki uang lainnya adalah disetujui oleh pemikir-pemikir ekonomi Islam seperti disebutkan di atas.
Kita ketahui bahwa motif spekulasi ini dimaksudkan untuk mengaut keuntungan dan menumpuk kekayaan dengan memamfaatkan perubahan tingkat suku bunga dari masa ke masa. Melihat karakteristik dan cara spekulasi itu dipraktekkan dalam dunia bisnis yang melibatkan bunga (interest) dengan menghalalkan segala cara, mengedepankan nilai ketamakan (greediness) tanpa mempedulikan nilai-nilai keadilan, maka Islam secara tegas menentang motif spekulasi ini. Salah satu contoh dari motif ini adalah tindakan monopoli (ihtikar). Dalam memonopoli barang dan jasa sebagai salah satu tindakan spekulasi, Imam al-Ghazali membedakan antara monopoli pada saat kekurangan (shortages) atau ekonomi dalam paceklik dan pada saat kelebihan (surplus) barang dan jasa. Dalam keadaan shortages, praktek monopoli adalah sangat bertentangan dengan nilai-nilai ekonomi Islam.
Sementara itu, pemikir ekonomi Islam tidak melihat tindakan monopoli pada saat barang dan jasa dalam keadaan surplus sebagai sesuatu tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai moralitas dan norma-norma keislaman. Hal ini dikarenakan pada saat kelebihan barang dan jasa beredar di pasar, tindakan monopoli tidak akan mempengaruhi harga barang dan jasa sehingga tidak akan membahayakan kesejahteraan umat. Jadi jelaslah bagi kita bahwa, motif spekulasi ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai keadilan karena selain melibatkan interest, ia juga melibatkan unsur-unsur perjudian (gambling) dan juga melibatkan unsur-unsur gharar.
Seperti disebutkan sebelumnya, kedua motif transaksi dan motif berjaga-jaga tidaklah dilihat sebagai motif permintaan akan uang yang bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma keislaman. Namun ini tidaklah berarti bahwa dalam melakukan transaksi, seseorang itu bisa berbuat sekehendak hatinya dengan melanggar ketentuan Allah swt, seperti melakukan manipulasi, transaksi barang-barang illegal, transaksi yang melibatkan bunga, dan monopoli. Motif transaksi ini hendaklah dilakukan berdasarkan konsep transaksi Islami. Sementara itu, motif berjaga-jaga adalah suatu motif permintaan uang yang sangat dianjurkan Islam, asal sahaja motif itu tidak semata-mata termotivasi untuk meraup keuntungan maksimal, mungkin, dengan memanfaatkan perbedaan suku bunga ketika menyimpan dan mengelurkan uang dari tempat simpanan (bank). Karena motif ini adalah merupakan motif seseorang untuk menabung demi kepentingan masa depan, terutama dalam menghadapi kesulitan-kesulitan ekonomi yang tidak dapat dijangkakan, maka motif ini sangat sesuai dengan nilai-nilai kemanusian dan pertimbangan untuk membantu orang lain (altruistic consideration).
Motif ini sangat berguna tidak hanya untuk meringankan beban diri sendiri, tetapi juga untuk membantu meringankan beban orang lain tatkala menghadapi musibah ekonomi. Namun, bantuan yang diulurkan untuk meringankan orang lain hendaklah tidak dalam bentuk pinjaman berbunga, tetapi sebaiknya dalam bentuan bantuan bebas bunga, Qardh al-Hasan.
Di samping itu, perlu diketahui bahwa Islam melarang memperlakukan uang sama dengan barang (commodity) yang bisa diperjualbelikan. In Islam, money is not identical with commodity that can be traded for the purpose of making profit (Dalam Islam, uang tidaklah identik dengan barang yang dapat diperjualbelikan dengan tujuan untuk meraup keuntungan). Islam hanya melihat uang itu sebagai alat tukar, alat perantara, dan alat untuk menentukan nilai, bukan sebagai barang yang diperjualbelikan. Ini bermakna bahwa Islam tidak membenarkan uang itu diperjualbelikan di pasar Valuta Asing (VALAS) dengan tujuan spekulasi dan memperkaya diri.
Keuntungan memperjualbelikan uang di pasar Valuta Asing yang bersumber dari perbedaan harga beli dan harga jual dan perbedaan tingkat bunga antara satu negara dengan negara lain dimana Valuta Asing diperjualbelikan adalah bertentangan dengan nilai-nilai keislaman. Sebagai contoh, kita membeli Dollar Amerika dengan menggunakan Rupiah, dan kemudian menjual Dollar Amerika untuk membeli Poundsterling Inggris, dan kemudian Poundsterling dijual untuk membeli Deutchmark Jerman, dan akhirnya Deutchmark dijual untuk kembali membeli Rupiah, dan seterusnya. Dari proses jual beli ini, yang sering disebut dengan Arbitraging, biasanya keuntungan ataupun kerugian yang di dapat adalah tidak setimpal dengan pengorbanan yang dilakukan dan waktu yang diperlukan. Bisa jadi dalam masa yang sesingkat-singkatnya, seperti kasus George Soros, yang dituding sebagai penyebab utama berlakunya krisis moneter di sebahagian besar negara Asia Timur akhir-akhir ini, keuntungan yang di dapat dengan memperjualbelikan uang di pasar Valuta Asing adalah berbilion-bilion. Akibat tindakan Soros ini, tidak sedikit negara yang rapuh fundamental ekonominya terutama sekali Indonesia, rakyatnya harus menderita karena krisis ekonomi yang menerpa. Inilah yang menjadi alasan kenapa Islam tidak membenarkan uang itu diperlakukan sama seperti barang yang bebas diperjualbelikan, seperti dipraktekkan dalam ekonomi barat.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat kita lihat bahwa pengharaman "interest" (riba) dalam ekonomi Islam menyebabkan tidak semua fungsi uang dalam ekonomi konvensional bisa diimplementasikan dalam sistem ekonomi Islam. Keterlibatan interest, gambling, juhalah dan gharar dalam motif permintaan uang untuk berspekulasi telah menyebabkan motif ini secara keras ditentang oleh Islam. Sementara dua motif lainnya, motif permintaan uang untuk bertransaksi dan untuk berjaga-jaga tidak dipandang sebagai motif memegang uang yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam sejauhmana elemen-elemen riba tidak memotivasi mereka dalam kedua motif permintaan uang ini. Tidak seperti dalam ekonomi konvensional, ekonomi Islam menentang keras uang itu untuk diperlakukan sama dengan barang-barang (commodities) yang dapat diperjualbelikan semata-mata dimaksudkan untuk meraih keuntungan.
M. Shabri H. Abd. Majid, M. Ec, Kandidat Doktor di Bidang Ekonomi pada International Islamic University, Malaysia (IIUM)
Sumber: Serambi Indonesia.
Langganan:
Postingan (Atom)