Musik

Kamis, 03 Oktober 2013

Pemberdayaan Zakat Untuk Kemajuan Ekonomi Umat

Depok, Jawa Barat. Alhamdulillah telah dilaksanakan seminar IAEI yang ke 11 di Kampus STEI SEBI. Menghadirkan 3 pembicara yaitu Irfan Syauqi Beik Phd., Endang Ahmad Yani dan Tomy Hendrajati, ketiga pembicara tersebut mengupas secara tuntas zakat dikaitkan dari sisi keilmuan, praktek dan kelembagaan dari zakat yang telah berjalan dimasyarakat. Acara tersebut di buka oleh Tim Nasyid dari STEI SEBI dengan Keynote Specch oleh Bapak Drs. Agustianto M.Ag (Ketua 1 Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI))
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Peneliti STEI SEBI yaitu Endang Ahmad Yani mendeskripsikan bahwa BAZ dan LAZ belum mendapatkan kepercayaan publik. Bahkan pada beberapa daerah PNS sendiri masih enggan membayar Zakat melalui BAZ. Minimnya pengetahuan masyarakat terhadap fiqih Zakat.  Hal utama yang mengakibatkan Zakat nilainya menjadi kecil dibanding potensinya karena pemahaman masyarakat yang salah. Misalkan ketika sudah membayar Zakat fitrah maka Zakat harta dan Zakat profesi tidak perlu lagi dibayar dan Masyarakat masih memandang bahwa membayar Zakat secara langsung ke mustahiq lebih baik.
Kaitannya dengan itu PKPU sebagai salah satu NGO di Indonesia yang memiliki program pengembangan masyarakat menengah kebawah, dan program yang pernah dilakukan diantarannya, Pengembangan Desa Muncang Menjadi Sentra Produksi Pisang Ambon, Peningkatan jumlah penerima manfaat dari 30 orang pada awal program menjadi 50 orang, pengembangan jaringan marketing bagi pemasaran produk pertanian masyarakat, pendirian kelompok tani “Waluya” yang berperan sebagai sarana dan keberlanjutan program terkait sistem produksi dan marketing setelah program berakhir, dan Penggalian potensi masyarakat melalui kerjasama antara masyarakat, LSM (PKPU) dan akademisi (IPB).
PKPU juga mengaharapkan pelaksanaan program dapat terus didukung melalui pengembangan dari sektor zakat. Potensi Zakat Nasional pada tahun 2012 adalah 3,4 % PDB atau sebesar Rp. 217 Triliun. Proyeksi lima tahun BAZNAS selama 5 tahun kedepan diharapkan juga terus meningkat melalui proyeksi Fondasi, Konsolidasi, pertumbuhan, percepatan dan pemantapan.
Kesimpulannya singkronisasi dalam terhadap perdayaan zakat dalam pengembangan ekonomi umat perlu dilaksanakan dengan baik dan perubahan dalam sikap untuk membayar zakat perlu digencarkan lagi. Acara tersebut dihadiri oleh akademisi, praktisi BUMN dan Kementrian Keuangan RI.

Sumber :  http://www.iaei-pusat.org/article/ekonomi-syariah/pemberdayaan-zakat-untuk-kemajuan-ekonomi-umat

Zakat Untuk Pemerataan Kesejahteraan: Potensi Yang Belum Optimal untuk ekonomi kalangan Masyarakat


Penerapan sistem ekonomi terkait perbankan dan keuangan berdasarkan syariah telah  berkembang secara signifikan khususnya di Malaysia dan Indonesia yang menandai kebangkitan sistem ekonomi yang bersandarkan pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan perbankan dan keuangan syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh sistem ekonomi konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah bercokol cukup lama di negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk memurnikan kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur yang bertentangan dan berlawanan dengan prinsip ajaran Islam (Al Quran dan Hadist).
Ekonomi Islam memang tidak memiliki sejumlah teori khusus dan rinci yang menerangkan ilmu (sains) ekonomi sebagaimana ekonomi kapitalistik ditata dan disebarluaskan. Namun, ekonomi Islam mempunyai konsep normatif seperti mengenai larangan riba, hal kepemilikan harta dan pekerjaan, penguasaan barang atas hajat hidup orang banyak (public goods) serta jaminan dan solidaritas sosial (pengentasan kemiskinan) melalui pemberdayaan konsep zakat. Pada masa Rasulullah prinsip-prinsip Islam tentang kehidupan bermasyarakat dijalankan secara sempurna dan bermanfaat sehingga menarik perhatian banyak kalangan yang belum mengerti ajaran Islam. Maka tak heran jika  perkembangan agama Islam menjadi begitu meluas menembus batas jazirah Arab.
EKONOMI ISLAM
Pada dasarnya Ekonomi Islam yang merupakan sistem ekonomi syariah itu  berdiri tegak pada azas-azas kebersamaan dan keadilan dalam mencapai tujuan. Paling tidak terdapat empat prinsip yang melandasi praktik ekonomi Islam.
Pertama, anjuran membelanjakan harta di jalan Allah semaksimal mungkin guna tercapainya keadilan dan kesejahteraan sosial. Malalui prinsip ini kemudian terejawantahkan konsep zakat, sedekah, infak, wakaf dan sebagainya. Pada dasarnya  Islam tidak mentolerir terjadinya kesenjangan mencolok antara kaum the have dengan kalangan the have not.
Kedua, larangan untuk melakukan riba. Para ulama memang terpecah pendapat dalam menyikapi apakah bunga bank termasuk riba? Namun demikian pada dasarnya mereka sama-sama sepakat bahwa apabila ada dua orang melakukan transaksi (bisnis) tidak boleh ada salah seorang diperlakukan “kalah” sehingga muncul skema win-lose, salah seorang menderita kerugian dari pada yang lain. Sehingga muncul ketidak-adilan dalam menanggung resiko.
Lalu muncul prinsip ketiga, membagi resiko bersama (risk sharing). Jika suatu usaha yang dikelola bersama mengalami kerugian maka para pihak dapat menanggung resiko secara bersama-sama secara adil dan bijaksana, tidak boleh salah satu pihak merasa tidak puas karena didzholimi.
Terkait prinsip ketiga maka terdapat prinsip keempat yaitu melarang terjadinya eksploitasi dari satu manusia pada manusia lainnya. Artinya, salah satu pihak yang bersepakat untuk suatu usaha (bisnis) tidak boleh menjadi kaya sendiri sementara pihak lain dalam situasi menderita. Dalam konteks ini maka pembagian keuntungan yang berat sebelah dalam suatu kontrak karya (proyek bisnis) misalnya bisa disebut sebagai kontrak karya yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Prinsip kelima adalah larangan melakukan usaha yang bersifat spekulasi. Contoh kongkrit adalah judi. Setiap usaha telah ditelaah, direncanakan matang, tertata baik dan logis, lalu prediksi dan antisipasi dilakukan sesuai prinsip  rasionalitas bukan didasarkan perilaku spekulatif yang nir data dan informasi tidak akurat. Prinsip ini merupakan pengejawantahan manajemen modern. Namun manusia acapkali serakah dan amoral yang membuat prinsip diatas terabaikan.
Pada masa kejayaan Islam suasana kehidupan dan kesejahteraan masyarakat terperhatikan, prinsip keadilan ditegakkan, tauhid sosial juga dipraktikkan melalui kepedulian terhadap kaum papa dan lemah. Jaminan dan solidaritas sosial yang dibangun dari prinsip Islam yakni mengoptimalkan peran dan fungsi zakat mampu menjembatani kesenjangan si kaya dan si miskin Kegiatan praktik bisnis bersifat eksploitasi, curang dan serakah dicegah dan dilarang.
OPTIMALISASI ZAKAT UNTUK KESEJAHTERAAN
Sekarang ini negara-negara Islam hanya mampu menerapkan sebagian (terpisah-pisah) dari sistem ekonomi Islam seperti perbankan, pembiayaan dan asuransi sharia. Kenyataan bahwa paradigm yang sudah tersurat dan tersirat dalam ajaran Islam ini memang masih belum dioptimalkan oleh umat Islam itu sendiri karena kuatnya pengaruh ekonomi konvensional.
Salah satu instrumen untuk pemerataan kesejahteraan masyarakat dalam pandangan ekonomi Islam adalah zakat. Konsep zakat semestinya dapat diberdayakan untuk menjembatani kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin sehingga akan mampu mewujudkan keadilan sosial yang pada gilirannya kondusif bagi perkembangan iklim usaha. Sudahkan konsep ini diterapkan optimal?
Zakat belum dijadikan mainstream pengambilan kebijakan ekonomi pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh. Padahal potensi itu terbuka lebar dan hasil analisis menunjukkan bahwa persoalan kesenjangan kaya dan miskin tidak akan melebar bahkan mengecil asalkan kebijakan dan manajemen zakat secara komprehensif dibenahi dan diberdayakan oleh pemerintah (hasil penelitian Kholilah CIES UB Malang 2011). Penulis yakin pengentasan kemiskinan dapat teratasi dengan mengeluarkan kebijakan untuk mengintegrasikan zakat profesi dan pajak penghasilan. Sebagaimana di Malaysia, bentuk integrasinya dengan mensosialisasikan zakat sebagai pengurang  penghasilan kena pajak sesuai UU No. 2000 tentang Pajak Penghasilan. Jumlah zakat yang terkumpul tentu perlu diawasi penggunaannya, tidak boleh dipakai untuk pembangunan infrastruktur, sarana prasarana publik, karena pembayar zakat tidak boleh ikut menikmati hasil zakat. Hal ini karena zakat dalam Islam memang diperuntukkan untuk pengentasan kemiskinan alias pemerataan kesejahteraan. Selain dapat mengentaskan kemiskinan, apabila kebijakan ini diterapkan justru memungkinkan bertambahnya jumlah wajib pajak (WP) karena secara psikologis WP Muslim akan merasa diperlakukan adil dan banyak manfaat, sehingga mendorongnya bersikap jujur dalam membayar pajak. Bertambahnya WP berarti meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan.
Konsep zakat yang berfungsi untuk pemerataan kesejahteraan umat ini adalah bagian dari ekonomi Islam. Namun sayangnya masyarakat Muslim termasuk pemerintah tampak lebih sibuk dengan perbankan dan keuangan syariah semata. Sehingga tidak heran jika mencuat pertanyaan, bisakah ekonomi Islam memberikan sumbangan berarti bagi kesejahteraan rakyatnya di suatu Negara berdaulat yang mayoritas beragama Islam? Hal ini karena awam melihat ekonomi Islam masih sebatas perbankan dan keuangan yang dalam berbagai aspek operasional masih mirip dengan sistem ekonomi konvensional. Disisi lain kita masih terpaku dan hanya berkutat pada perbankan dan keuangan syariah semata, sementara zakat belum terperhatikan dengan baik dan sistematik.
- Sumber : http://fossei.org/2013/04/zakat-untuk-pemerataan-kesejahteraan-potensi-yang-belum-optimal/#sthash.0z2ZoHJI.dpuf

Pengaruh Zakat Terhadap Ekonomi

ZAKAT DAN PENGARUHNYA TERHADAP EKONOMI

Sebelum  memasuki pembahasan kita ada baiknya kita mengetahui apa itu zakat dan hukum melaksanakannya.
A.Definisi Zakat
Secara etimologi, zakat memiliki beberapa makna yang di antaranya adalah suci. “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu.” (QS. Asy-Syams: 9). Maksudnya adalah suci dan dosa dan kemaksiatan. Selain itu, zakat bisa bermakna tumbuh dan berkah. Secara syar’i, zakat adalah sedekah tertentu yang diwajibkan dalam syariah terhadap harta orang kaya dan diberikan kepada orang yang berhak menerimanya.
B. Hukum Zakat
            Allah mewajibkan zakat kepada setiap Muslim (lelaki dan perempuan) atas hartanya yang telah mencapai nishab. Zakat merupakan instrumen dalam mensucikan harta dengan membayarkan hak orang lain. Selain itu, zakat merupakan mediator  dalam mensucikan diri dan hati dari rasa kikir  dan cinta harta. Dan zakat merupakan instrument social untuk  kebutuhan dasar fakir dan miskin.
Allah Swt berfirman, “Ambillah zakat dan sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkannya dan mensucikan mereka…” (QS. At- Taubah: 103)
Zakat pertama kali diwajibkan, tidak ditentukan kadar dan jumlahnya, tetapi hanya diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan fakir dan miskin. Namun setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, diberlakukanlah beberapa ketentuan dan syarat yang harus dipenuhi dalam zakat.
Zakat merupakan salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah (seperti shalat, haji, dan puasa) yang telah diatur secara rinci dan paten berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, sekaligus merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan.
 
C.Hikmah Zakat
           1. Hikmah Diniyah (Agama)
a)      Dengan berzakat berarti telah menjalankan salah satu dari rukun Islam yang menghantarkan seorang hamba kepada kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akhirat.
b)      Merupakan sarana bagi hamba untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Rabbnya, akan menambah keimanan karena keberadaannya yang memuat beberapa macam ketaatan.
c)      Pembayar zakat akan mendapatkan pahala besar yang berlipat ganda, sebagaimana firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala :

يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ

Artinya: “Alloh memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah” (QS: Al Baqarah: 276).
Dalam sebuah hadits yang muttafaq ‘alaih Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam juga menjelaskan bahwa shadaqah dari harta yang baik akan ditumbuhkan kembangkan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala berlipat ganda.
Zakat merupakan sarana penghapus dosa, seperti yang pernah disabdakan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam
2. Hikmah Khuluqiyah (Akhlah)
a)      Menanamkan sifat kemuliaan, rasa toleran dan kelapangan dada kepada pribadi pembayar zakat.
b)      Pembayar zakat biasanya identik dengan sifat rahmah (belas kasih) dan lembut kepada saudaranya yang tidak punya.
c)      Merupakan realita bahwa menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat baik berupa harta maupun raga bagi kaum muslimin akan melapangkan dada dan meluaskan jiwa. Sebab sudah pasti ia kan menjadi orang yang dicintai dan dihormati sesuai tingkat pengorbanannya.
d)     Di dalam zakat terdapat penyucian terhadap akhlak.
3. Hikmah Ijtimaiyyah (Sosial)
a)      Zakat merupakan sarana untuk membantu dalam memenuhi hajat hidup para fakir miskin yang merupakan kelompok mayoritas sebagian besar negara di dunia.
b)      Memberikan support kekuatan bagi kaum muslimin dan mengangkat eksistensi mereka.Ini bisa dilihat dalam kelompok penerima zakat, salah satunya adalah mujahidin fi sabilillah.
c)      Zakat bisa mengurangi kecemburuan sosial, dendam dan rasa dongkol yang ada dalam dada fakir miskin. Karena masyarakat bawah biasanya jika melihat mereka yang berkelas ekonomi tinggi menghambur-hamburkan harta untuk sesuatu yang tidak bermanfaaat bisa tersulut rasa benci dan permusuhan mereka. Jikalau harta yang demikian melimpah itu dimanfaatkan untuk mengentaskan kemiskinan tentu akan terjalin keharmonisan dan cinta kasih antara si kaya dan si miskin.
d)     Zakat akan memacu pertumbuhan ekonomi pelakunya dan yang jelas berkahnya akan melimpah.
e)      Membayar zakat berarti memperluas peredaran harta benda atau uang, karena ketika harta dibelanjakan maka perputarannya akan meluas dan lebih banyak fihak yang mengambil manfaat.
D.Pengaruh Zakat dalam Ekonomi
Zakat merupakan ketentuan yang wajib dalam sistem ekonomi islam (obligatory zakat system) sehingga pelaksanaannya melalui institusi resmi negara yang memliki ketentuan hukum. Zakat dikumpulkan, dikelola, atau di distribusikan melalui lembaga baitul mal.
Ketentuan yang ditetapkan Allah Swt pada semua aspek kehidupan manusia pada umumnya memiliki dua fungsi utama yang memberikan manfaat bagi individu (nafs) dan kolektif (jama’i). Demikian pula halnya dengan sistem zakat dalam ekonomi islam yang befungsi sebagai alat ibadah bagi orang yang membayar zakat (muzakki) yang memberikan kemanfaatan individu (nafs), dan berfungsi sebagai penggerak ekonomi bagi orang-orang dilingkungan yang menjalankan sistem zakat ini, yang memberikan kemanfaatan kolektif (jama’i).
                      Adapun pengaruh zakat pada Ekonomi,diantaranya:
1)Zakat mendorong pemilik modal mengelola hartanya.
Zakat mal itu dikenakan pada harta diam yang dimiliki seseorang setelah satu tahun, harta yang produktif tidak dikenakan zakat. Jadi, jika seseorang menginvestasikan hartanya, maka ia tidak dikenakan kewajiban zakat mal. Hal ini dipandang mendorong produktifitas, karena uang yang selalu diedarkan di masyarakat, akhirnya perputaran uang beredar bertambah. Akhirnya perekonoian suatu negara akan berjalan lebih baik.
2)  Meningkatkan etika bisnis. Kewajiban zakat dikenakan pada harta yang diperoleh dengan cara yang halal. Zakat memang menjadi pembersih harta, tetapi tidak membersihkan harta yang diperoleh secara batil. Maka hal ini akan mendorong pelaku usaha agar memperhatikan etika bisnis
3)     Pemerataan pendapatan. Pengelolaan zakat yang baik, dan alokasi yang tepat sasaran akan mengakibatkan pemerataan pendapatan. Hal inilah yang dapat memecahkan permasalahan utama bangsa Indonesia (kemiskinan). Kemiskinan di Indonesia tidak terjadi karena sumber pangan yang kurang, tetapi distribusi bahan makanan itu yang tidak merata, sehingga banyak orang yang tidak memiliki kemudahan akses yang sama terhadap bahan pangan tersebut. Dengan zakat, distribusi pendapatan itu akan lebih merata dan tiap orang akan memiliki akses lebih terhadap distribusi pendapatan.
4)  Pengembangan sektor riil. Salah satu cara pendistribusian zakat dapat dilakukan dengan memberikan bantuan modal usaha bagi para mustahiq. Pendistribusian zakat dengan cara ini akan memberikan dua efek yaitu meningkatkan penghasilan mustahiq dan juga akan berdampak pada ekonomi secara makro. Usaha yang dilakukan tersebut merupakan usaha yang meningkatkan sektor riil, menggerakkan pertumbuhan dan aktifitas perekonomian. Hal ini sangat erat kaitannya dengan daya saing kompetitif dan komparatif suatu bangsa. Ukuran produktifitas suatu bangsa dapat dilihat dari kemampuan sektor riil-nya dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat.
Sumber dana pembangunan. Banyak kaum dhuafa yang sangat sulit mendapatkan fasilitas kesehatan, pendidikan, maupun sosial ekonomi. Lemahnya fasilitas ini akan sangat berpengaruh dalam kehidupan kaum termarjinal. Kesehatan dan pendidikan merupakan modal dasar agar SDM yang dimiliki oleh suatu negara berkualitas tinggi.Peran dana zakat sebagai sumber dana pembangunan fasilitas kaum dhuafa akan mendorong pembangunan ekonomi jangka panjang. Dengan peningkatan kesehatan dan pendidikan diharapkan akan memutus siklus kemiskinan antar generasi.
 

Strategi Pembangunan Zakat Nasional

Salah satu upaya mendasar dan fundamental untuk mengentaskan atau memperkecil masalah kemiskinan adalah dengan cara mengoptimalkan pelaksanaan zakat. Demikian pendapat Dr Yusuf Qardlawi, salah seorang ulama dan penulis yang sangat produktif, dalam sebuah bukunya yang berjudul Musykilatul Faqri wa Kaifa 'Aalajaha al-Islam (Problematika Kefakiran/Kemiskinan dan Bagaimana Solusinya menurut Islam). Hal itu dikarenakan zakat adalah sumber dana yang tidak akan pernah kering dan habis. Maksudnya, selama umat Islam memiliki kesadaran untuk berzakat dan selama dana zakat tersebut mampu dikelola dengan baik, maka dana zakat akan selalu ada serta bermanfaat untuk kepentingan dan kemaslahatan masyarakat. Kita bisa melihat bahwa pertumbuhan pengelolaan zakat di Indonesia sangat menggembirakan, terutama dalam 15 tahun terakhir. Jika sebelum tahun 1990-an pengelolaan zakat masih bersifat terbatas, tradisional, dan individual, maka sesudah itu, pengelolaan zakat memasuki era baru. Unsur-unsur profesionalisme dan manajemen modern mulai coba diterapkan. Salah satu indikatornya adalah bermunculannya badan-badan dan lembaga-lembaga amil zakat baru yang menggunakan pendekatan-pendekatan baru --yang berbeda dengan sebelumnya. Implikasinya, amil kini telah tumbuh menjadi profesi baru. Amil tidak lagi dipandang sebagai profesi sambilan, yang dikerjakan secara asal-asalan, dan dengan tenaga dan waktu sisa. Saat ini, amil memerlukan konsentrasi dan aktivitas kerja secara full time. Amil juga tidak lagi menjadi aktivitas yang dilaksanakan menjelang Idul Fitri saja, melainkan sebuah profesi yang dikerjakan sepanjang waktu. Memasuki pintu negara Pada akhir dekade 90-an, tepatnya pada tahun 1999, pengelolaan zakat mulai memasuki level negara, setelah sebelumnya hanya berkutat pada tataran masyarakat. Hal tersebut ditandai dengan disahkannya Undang-undang (UU) No 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat. UU inilah yang menjadi landasan legal formal pelaksanaan zakat di Indonesia, walaupun di dalam pasal-pasalnya masih terdapat berbagai kekurangan dan kelemahan yang harus diperbaiki dan disempurnakan. Sebagai konsekuensi UU tersebut, pemerintah (tingkat pusat sampai daerah) wajib memfasilitasi terbentuknya lembaga pengelola zakat. Yaitu Badan Amil Zakat Nasional(BAZNAS) untuk tingkat pusat dan Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) untuk tingkat daerah. BAZNAS dan BAZDA-BAZDA bekerja sama dengan Lembaga Amil Zakat (LAZ), baik yang bersifat nasional maupun daerah. Sehingga diharapkan bisa terbangun sebuah sistem zakat nasional yang baku, yang bisa diaplikasikan oleh semua pengelola zakat. Pemerintah pusat maupun daerah diharapkan memberikan perhatian penuh terhadap lembaga zakat ini, sehingga bisa bekerja secara profesional dan transparan. Dengan cara ini diharapkan problematika kemiskinan yang terjadi di negara kita secara bertahap dapat direduksi. Strategi pokok Secara nasional, zakat memiliki potensi menggembirakan. Menurut sebuah studi, potensinya mencapai angka Rp 6-7 triliun setiap tahun. Dalam studi lain, PIRAC menemukan potensi zakat mencapai Rp 4,3 triliun. Namun dalam riset terbaru yang dilakukan oleh Pusat Budaya dan Bahasa UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, potensi tersebut mencapai angka Rp 19,3 triliun. Menurut analisa penulis, potensi zakat saat ini memang mencapai angka Rp 19-20 triliun. Idealnya, potensi zakat itu mestinya minimal 2,5 persen dari total GDP negara. Tentu saja, data-data tersebut memberikan gambaran kepada kita bahwa zakat bila dikelola dengan baik bisa menjadi sumber kekuatan dalam memberdayakan kondisi perekonomian negara dan masyarakat. Untuk itu, dibutuhkan dukungan kuat dari seluruh pihak, agar pengelolaan zakat ini dapat terlaksana dengan baik. Pada kesempatan ini, penulis ingin menguraikan beberapa strategi pokok pembangunan zakat ke depan. Paling tidak, ada empat strategi yang harus dikembangkan. Pertama, meningkatkan sosialisasi kepada seluruh komponen bangsa. Yang menjadi target utama sosialisasi ini adalah kalangan pejabat, baik eksekutif, legislatif, yudikatif, ulama, akademisi, praktisi bisnis, dan masyarakat umum secara keseluruhan. Tujuannya agar elemen-elemen tersebut memiliki kesadaran kolektif akan urgensi dan pentingnya berzakat, terutama berzakat melalui lembaga yang amanah, baik BAZ maupun LAZ. Para pejabat, misalnya, diharapkan mengeluarkan kebijakan yang senantiasa memiliki orientasi keberpihakan nyata terhadap pemungutan dan pendistribusian zakat. Sehingga berbagai hambatan regulasi dan aturan dapat diminimalisasi. Kalangan ulama pun diharapkan menjadi agen pemberi informasi zakat yang tepat kepada masyarakat. Hendaknya masyarakat dibimbing untuk berzakat melalui BAZ dan LAZ yang dapat dipercaya. Dan masih banyak contoh lain. Pendeknya, semua pihak harus memiliki kesadaran bahwa berzakat melalui lembaga memberikan keuntungan-keuntungan. Antara lain menjamin efektivitas, efisiensi, dan ketepatan sasaran dalam pendayagunaan zakat. Kedua, penguatan lembaga-lembaga zakat yang ada, baik BAZ maupun LAZ. Ada beberapa aspek yang perlu diperkuat. Antara lain sumber daya manusia (SDM), program kerja, standardisasi mekanisme kerja dan auditing, penguatan database muzakki dan mustahik, serta regulasi yang mendukung perkembangan BAZ dan LAZ. BAZNAS sebagai lembaga zakat di tingkat nasional harus menjadi akselerator proses penguatan ini. SDM yang ada haruslah memiliki komitmen kuat. Antara lain diindikasikan kesediannya mencurahkan waktu secara khusus sebagai amil, mengembangkan kemampuan mengelola dan mendayagunakan zakat, serta senantiasa mengedepankan prinsip-prinsip kejujuran, profesionalisme, dan transparansi dalam setiap aktivitasnya. Kemudian pelatihan-pelatihan yang mendorong pada peningkatan skill dan keterampilan perlu diperbanyak kuantitasnya, serta ditingkatkan kualitasnya. Sementara itu, setiap BAZ dan LAZ harus memiliki program kerja yang jelas dan terukur. Sasaran-sasaran program harus dapat didefinisikan secara jelas dan gamblang. Kemudian perlu juga dibangun standar mekanisme kerja BAZ/LAZ, yang didukung mekanisme audit yang transparan, sebagai bukti public accountability BAZ/LAZ. Memang, penulis akui, sampai saat ini belum ada standar yang bersifat nasional. Karena itu, diharapkan BAZNAS periode sekarang mampu merumuskan standardisasi ini, yang tentu saja dengan dukungan dan bantuan pihak-pihak lain, termasuk masukan-masukan dari BAZ dan LAZ. Ketiga, mengefektifkan pendayagunaan zakat. Dalam langkah ini, ada dua indikator utama yang menentukan apakah dana zakat telah didayagunakan secara tepat atau tidak. Indikator pertama adalah shariah-compliance, kesesuaian dengan nilai-nilai syariat Islam. Ini sangat penting karena zakat adalah ibadah yang memiliki rambu-rambu syariah jelas. Indikator kedua adalah ketepatan sasaran berdasarkan skala prioritas. Hal ini sangat penting agar dana zakat tidak jatuh kepada orang-orang yang tidak berhak menerima. Keempat, mengembangkan sinergi antar BAZ dan LAZ yang ada, termasuk dengan komponen masyarakat lainnya, seperti lembaga keuangan syariah. Sinergisitas adalah kunci keberhasilan pembangunan zakat di Indonesia. Sebagai contoh, penguatan database muzakki dan mustahik tidak akan mungkin tercapai bila tidak ada sinergi antarlembaga pengelola zakat. Hingga saat ini, kita belum memiliki data yang akurat mengenai jumlah muzakki dan mustahik di Indonesia, termasuk peta persebarannya. Untuk itu, masalah ketersediaan database ini menjadi sesuatu yang urgen. Penulis berharap, melalui sinergi yang terjalin dengan kuat, di mana di dalamnya terdapat unsur saling tsiqoh dan percaya yang kuat, maka pembangunan zakat secara nasional akan dapat berjalan dengan baik. Wallahu a'lam. KH Dr Didin Hafidhuddin, Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional Sumber: Republika Online

Uang di Mata Pemikir Ekonomi Islam

Walaupun pada awal kemunculan pemikiran ekonomi Keynesian, eksistensi uang dalam ekonomi belum diakui sepenuhnya. Namun seiring dengan peredaran masa dan sejalan dengan perubahan ekonomi, fungsi dan peranan uang dalam ekonomi semakin penting sehingga ia tidak bisa dipisahkan dari sistem ekonomi. Hal ini menyebabkan para ekonom berkonklusi bahwa uang adalah merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan tingkat aktivitas ekonomi sesebuah negara. Setidaknya ada dua alasan mendasar kenapa para ekonom melihat uang itu penting dalam sebuah perekonomian. Pertama adalah karena uang dapat digunakan untuk menentukan jumlah nominal, seperti tingkat harga, dan kedua karena ia juga dapat dijadikan standard untuk menentukan jumlah riel, seperti jumlah riel output dan riel tenaga kerja. Dalam sejarah Islam, kesadaran akan pentingnya uang dalam sebuah sistem ekonomi telah muncul jauh sebelum ilmu ekonomi itu diakui sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri. Peranan uang dalam ekonomi Islam telah didiskusikan oleh Iman al-Ghazali (1058-1111 M) dalam kitabnya yang terkenal, þIhya Ulum al-Din. Menurut beliau, manusia memerlukan uang sebagai alat perantara/pertukaran (medium of exchange) untuk membeli barang dan jasa. Sementara itu, Ibn Taymiyah (1263) menyebutkan bahwa uang itu tidak hanya berfungsi sebagai medium of exchange, tetapi ia juga berfungsi sebagai alat untuk menentukan nilai (measurement of value). Akhirnya, dalam membahas peranan uang dalam ekonomi, Ibn Qayyim sependapat dengan al-Ghazali, sementara itu Ibn Khaldun lebih cenderung bersetuju dengan pendapat Ibn Taymiyah. Karena ada instrumen-instrumen ekonomi konvensional baik yang bersifat instrumen policy atau institusional yang tidak sejalan dengan pengajaran al-Quran dan Hadits, maka fungsi dan peranan uang di dalam ekonomi konvensional dan ekonomi Islam adalah berbeda. Sebab mendasar kenapa fungsi uang dalam ekonomi Islam dan ekonomi konvensional berbeda adalah karena dalam sistem ekonomi Islam, interest (riba), perjudian (gambling) dan unsur-unsur tidak jelas, gharar (uncertainty) itu diharamkan agama. Sedangkan ekonomi konvensional melihat semua unsur ini sebagai sesuatu yang normal dan legal. Dalam ekonomi konvensional, J. M. Keynes (1936) di dalam buku terkenalnya, General Theory of Employment, Interest and Money mengemukan sebuah teori tentang permintaan akan uang yang dikenal dengan liquidity preference (preferensi likuiditas). Teori preferensi likuiditas ini menyebutkan bahwa ada tiga motif utama yang menentukan jumlah permintaan uang dalam sebuah perekonomian, yaitu: motif transaksi (transaction motive); motif berjaga-jaga (precautionary motive); dan motif spekulasi (speculative motive). Motif transaksi didefinisikan sebagai suatu motif permintaan akan uang yang diperlukan untuk kebutuhan sebuah transaksi. Karena transaksi ini biasanya dilakukan oleh individu dan bisnisman, maka J. M. Keynes membagi motif transaksi ini ke dalam; (a) motif pendapatan (income motive), dan (b) motif bisnis (business motive). Sementara itu, motif berjaga-jaga adalah suatu motif untuk memegang uang dengan tujuan mengantisipasi produksi-produksi yang tidak dapat diprediksikan di masa-masa mendatang. Dalam ekonomi konvensional, motif ini dipengarahui oleh tingkat pendapatan individu dan tingkat suku bunga. Sedangkan, permintaan uang dengan motif spekulasi itu dimaksudkan untuk menghindari kemerosotan nilai modal (capital value) akibat penurunan aktivitas ekonomi. Untuk menghindari kerugian ini, biasa para bisnisman menginvestasikan uangnya (modal) di pasar-pasar saham yang keuntungannya itu sangat ditentukan oleh perbedaan tingkat suku bunga. Jadi secara jelas dapat kita lihat bahwa dua motif pertama permintaan akan uang, yaitu motif transaksi dan motif berjaga-jaga adalah berkaitang langsung dengan fungsi uang sebagai alat pertukaran (tool of exchange) dalam sebuah perekonomian. Sedangkan motif spekulasi lebih erat kaitannya dengan fungsi uang sebagai alat penyimpan harga atau kekayaan (store of value or wealth). Bila kita komparasikan antara pendapat para pemikir ekonomi Islam dengan pendapat Keynes di atas, jelas terlihat bahwa kecuali motif memegang uang untuk berspekulasi, semua motif untuk memiliki uang lainnya adalah disetujui oleh pemikir-pemikir ekonomi Islam seperti disebutkan di atas. Kita ketahui bahwa motif spekulasi ini dimaksudkan untuk mengaut keuntungan dan menumpuk kekayaan dengan memamfaatkan perubahan tingkat suku bunga dari masa ke masa. Melihat karakteristik dan cara spekulasi itu dipraktekkan dalam dunia bisnis yang melibatkan bunga (interest) dengan menghalalkan segala cara, mengedepankan nilai ketamakan (greediness) tanpa mempedulikan nilai-nilai keadilan, maka Islam secara tegas menentang motif spekulasi ini. Salah satu contoh dari motif ini adalah tindakan monopoli (ihtikar). Dalam memonopoli barang dan jasa sebagai salah satu tindakan spekulasi, Imam al-Ghazali membedakan antara monopoli pada saat kekurangan (shortages) atau ekonomi dalam paceklik dan pada saat kelebihan (surplus) barang dan jasa. Dalam keadaan shortages, praktek monopoli adalah sangat bertentangan dengan nilai-nilai ekonomi Islam. Sementara itu, pemikir ekonomi Islam tidak melihat tindakan monopoli pada saat barang dan jasa dalam keadaan surplus sebagai sesuatu tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai moralitas dan norma-norma keislaman. Hal ini dikarenakan pada saat kelebihan barang dan jasa beredar di pasar, tindakan monopoli tidak akan mempengaruhi harga barang dan jasa sehingga tidak akan membahayakan kesejahteraan umat. Jadi jelaslah bagi kita bahwa, motif spekulasi ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai keadilan karena selain melibatkan interest, ia juga melibatkan unsur-unsur perjudian (gambling) dan juga melibatkan unsur-unsur gharar. Seperti disebutkan sebelumnya, kedua motif transaksi dan motif berjaga-jaga tidaklah dilihat sebagai motif permintaan akan uang yang bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma keislaman. Namun ini tidaklah berarti bahwa dalam melakukan transaksi, seseorang itu bisa berbuat sekehendak hatinya dengan melanggar ketentuan Allah swt, seperti melakukan manipulasi, transaksi barang-barang illegal, transaksi yang melibatkan bunga, dan monopoli. Motif transaksi ini hendaklah dilakukan berdasarkan konsep transaksi Islami. Sementara itu, motif berjaga-jaga adalah suatu motif permintaan uang yang sangat dianjurkan Islam, asal sahaja motif itu tidak semata-mata termotivasi untuk meraup keuntungan maksimal, mungkin, dengan memanfaatkan perbedaan suku bunga ketika menyimpan dan mengelurkan uang dari tempat simpanan (bank). Karena motif ini adalah merupakan motif seseorang untuk menabung demi kepentingan masa depan, terutama dalam menghadapi kesulitan-kesulitan ekonomi yang tidak dapat dijangkakan, maka motif ini sangat sesuai dengan nilai-nilai kemanusian dan pertimbangan untuk membantu orang lain (altruistic consideration). Motif ini sangat berguna tidak hanya untuk meringankan beban diri sendiri, tetapi juga untuk membantu meringankan beban orang lain tatkala menghadapi musibah ekonomi. Namun, bantuan yang diulurkan untuk meringankan orang lain hendaklah tidak dalam bentuk pinjaman berbunga, tetapi sebaiknya dalam bentuan bantuan bebas bunga, Qardh al-Hasan. Di samping itu, perlu diketahui bahwa Islam melarang memperlakukan uang sama dengan barang (commodity) yang bisa diperjualbelikan. In Islam, money is not identical with commodity that can be traded for the purpose of making profit (Dalam Islam, uang tidaklah identik dengan barang yang dapat diperjualbelikan dengan tujuan untuk meraup keuntungan). Islam hanya melihat uang itu sebagai alat tukar, alat perantara, dan alat untuk menentukan nilai, bukan sebagai barang yang diperjualbelikan. Ini bermakna bahwa Islam tidak membenarkan uang itu diperjualbelikan di pasar Valuta Asing (VALAS) dengan tujuan spekulasi dan memperkaya diri. Keuntungan memperjualbelikan uang di pasar Valuta Asing yang bersumber dari perbedaan harga beli dan harga jual dan perbedaan tingkat bunga antara satu negara dengan negara lain dimana Valuta Asing diperjualbelikan adalah bertentangan dengan nilai-nilai keislaman. Sebagai contoh, kita membeli Dollar Amerika dengan menggunakan Rupiah, dan kemudian menjual Dollar Amerika untuk membeli Poundsterling Inggris, dan kemudian Poundsterling dijual untuk membeli Deutchmark Jerman, dan akhirnya Deutchmark dijual untuk kembali membeli Rupiah, dan seterusnya. Dari proses jual beli ini, yang sering disebut dengan Arbitraging, biasanya keuntungan ataupun kerugian yang di dapat adalah tidak setimpal dengan pengorbanan yang dilakukan dan waktu yang diperlukan. Bisa jadi dalam masa yang sesingkat-singkatnya, seperti kasus George Soros, yang dituding sebagai penyebab utama berlakunya krisis moneter di sebahagian besar negara Asia Timur akhir-akhir ini, keuntungan yang di dapat dengan memperjualbelikan uang di pasar Valuta Asing adalah berbilion-bilion. Akibat tindakan Soros ini, tidak sedikit negara yang rapuh fundamental ekonominya terutama sekali Indonesia, rakyatnya harus menderita karena krisis ekonomi yang menerpa. Inilah yang menjadi alasan kenapa Islam tidak membenarkan uang itu diperlakukan sama seperti barang yang bebas diperjualbelikan, seperti dipraktekkan dalam ekonomi barat. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat kita lihat bahwa pengharaman "interest" (riba) dalam ekonomi Islam menyebabkan tidak semua fungsi uang dalam ekonomi konvensional bisa diimplementasikan dalam sistem ekonomi Islam. Keterlibatan interest, gambling, juhalah dan gharar dalam motif permintaan uang untuk berspekulasi telah menyebabkan motif ini secara keras ditentang oleh Islam. Sementara dua motif lainnya, motif permintaan uang untuk bertransaksi dan untuk berjaga-jaga tidak dipandang sebagai motif memegang uang yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam sejauhmana elemen-elemen riba tidak memotivasi mereka dalam kedua motif permintaan uang ini. Tidak seperti dalam ekonomi konvensional, ekonomi Islam menentang keras uang itu untuk diperlakukan sama dengan barang-barang (commodities) yang dapat diperjualbelikan semata-mata dimaksudkan untuk meraih keuntungan. M. Shabri H. Abd. Majid, M. Ec, Kandidat Doktor di Bidang Ekonomi pada International Islamic University, Malaysia (IIUM) Sumber: Serambi Indonesia.