Musik

Rabu, 02 Oktober 2013

Implementasi Syariah Marketing: Berbisnis Cara Nabi Muhammad Saw

Muhammad adalah Rasulullah, Nabi terakhir yang diturunkan untuk menyempurnakan ajaran-ajaran Tuhan yang diturunkan sebelumnya. Rasulullah adalah suri teladan umat-Nya. “Sesungguhnya pada  diri Rasulullah terdapat suri teladan yang baik bagi kamu, (yaitu) bagi siapa yang mengharap (rahmat) Allah dan (kebahagiaan) hari kiamat dan ia banyak menyebut Allah” (QS Al-Ahzab [33]: 21). Akan tetapi, pada sisi lain, Nabi Muhammad saw juga adalah manusia biasa; beliau makan, minum, berkeluarga dan bertetangga, berbisnis dan berpolitik, serta sekaligus memimpin umat.

Aa Gym, dalam salah satu tulisannya, mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw selain sebagai pedagang yang sukses juga pemimipin agama sekaligus kepala negara yang sukses. Jarang ada nabi seeperti ini. Ada yang hanya sukses memimpin agama, tetapi tidak memimpin sebuah negara. Maka, sebenarnya kita sudah menemukan figur yang layak dijadikan idola, dan dijadikan contoh dalam mengarungi dunia bisnis.1

Pada bagian ini, saya ingin memotret sisi lain dari Nabi Muhammad saw yaitu Muhammad sebagai seorang pedagang. Muhammad memberikan contoh yang sangat baik dalam setiap transaksi bisnisnya. Beliau melakukan transaksi bisnisnya. Beliau melakukan transaksi-transaksi secara jujur, adil, dan tidak pernah membuat pelanggannya mengeluh, apalagi kecewa. Beliau selalu menepati janji dan mengantarkan barang dagangannya dengan standar kualitas sesuai dengan pelanggan. Reputasinya sebagai pedagang yang benar dan jujur, telah tertanam dengan baik sejak muda. Beliau selalu memperlihatkan rasa tanggungjawab terhadap setiap transaksi yang dilakukan.

Lebih dari itu, Muhammad, juga meletakkan prinsip-prinsip dasar dalam melakukan transaksi dagang secara adil. Kejujuran dan keterbukaan Muhammad dalam melakukan transaksi perdagangan merupakan teladan abadi bagi pengusaha generasi selanjutnya.

 Ucapan-ucapan Muhammad berikut ini telah menjadi kaidah yang sangat berharga bagi pekerja keras yang menjunjung tinggi profesionalisme dan kejujuran :
“Berusaha untuk mendapatkan penghasilan halal merupakan sebuah kewajiban, di samping tugas-tugas lain yang diwajibkan.”(HR Al-Baihaqi)
“Tidak ada satu pun makanan yang lebih baik daripada yang dimakan dari hasil keringat sendiri.” (HR Al-Bukhari)
“Pedagang yang jujur dan dapat dipercaya termasuk dalam golongan para nabi, orang-orang yang benar-benar tulus, dan para syuhada.”(HR Al-Tirmidzi, Al-Daruqutni)
“Segala sesuatu yang halal dan haram sudah jelas, tetapi di antara  keduanya terdapat hal-hal yang samar dan tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa berhati-hati terhadap barang yang meragukan, berarti telah menjaga agama dan kehormatan dirinya. Tetapi, barangsiapa yang mengikuti hal-hal yang meragukan berarti telah terjerumus pada yang haram, seperti seorang gembala yang menggembalakan binatangnya di sebuah ladang yang terlarang dan membiarkan binatang itu memakan rumput di situ. Setiap penguasa mempunyai peraturan-peraturan yang tidak boleh dilanggar, dan Allah melarang segala sesuatu yang dinyatakan haram.” (HR Al-Bukhari Muslim)
“Allah memberikan rahmat-Nya pada setiap orang yang bersikap baik ketika menjual, membeli, dan membuat suatu pernyataan.” (HR Al-Bukhari)

Hadits-hadits ini banyak menjadi panduan bagi pelaku bisnis syariah yang ingin mengembalikan cara-cara bisnis yang beradab dan bermoral, tanpa ada penipuan, penzaliman, dan eksploitasi kelemahan orang lain untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Bisnis syariah adalah bisnis yang santun, bisnis yang penuh kebersamaan dan penghormatan atas hak masing-masing, sebagaimana yang dicontohkan dalam bisnis Nabi Muhammad saw.


Sumber: Syariah Marketing, Hermawan Kartajaya dan Muhammad Syakir Sula

Harta dan Ekonomi Dalam Pandangan Islam

Secara umum, tugas kekhalifahan manusia adalah tugas mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan dalam hidup dan kehidupan(al-An’aam: 165) serta tugas pengabdian atau ibadah dalam arti luas (Adz-Dzaariyaat: 56). Untuk menunaikan tugas tersebut, Allah SWT memberi manusia dua anugerah nikmat utama, yaitu manhaj al-hayat ‘sistem kehidupan’ dan wasilah al-hayat ‘sarana kehidupan’, sebagaimana firman-Nya,
Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang ada di langit dan apa yang di bumi, dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan, diantara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.” (Luqman: 20)

Manhaj al-hayat adalah seluruh aturan kehidupan manusia yang bersumber kepada Al-Quran dan Sunnah Rasul. Aturan tersebut berbentuk keharusan melakukan atau sebaiknya melakukan sesuatu, juga dalam bentuk larangan melakukan atau sebaliknya meninggalkan sesuatu. Aturan tersebut dikenal sebagai hukum lima, yakni wajib, sunnah(mandub), mubah, makruh, atau haram.

Aturan-aturan tersebut dimaksudkan untuk menjamin keselamatan manusia sepanjang hidupnya, baik yang menyangkut keselamatan agama, keselamatan diri (jiwa dan raga), keselamatan akal, keselamatan harta benda, maupun keselamatan nasab keturunan. Hal-hal tersebut merupakan kebutuhan pokok atau primer (al-haajat adh-dharuriyyah).

Pelaksanaan Islam sebagai way of life secara konsisten dalam semua kegiatan kehidupan, akan melahirkan sebuah tatanan kehidupan yang baik, sebuah tatanan yang disebut sebagai hayatan thayyibah (an-Nahl:97).
Sebaliknya, menolak atura itu atau sama sekali tidak memiliki keinginan mengaplikasikannya dalam kehidupan, akan melahirkan kekacauan dalam kehidupan sekarang, ma’isyatan dhanka atau kehidupan yang sempit, serta kecelakaan di akhirat nanti (Thaahaa: 124-126)

Aturan-aturan itu juga diperlukan untuk mengelola wasilah al-hayah atau segala sarana dan prasarana kehidupan yang diciptakan Allah SWT untuk kepentingan hidup manusia secara keseluruhan. Wasilah al-hayah ini dalam bentuk udara, air, tumbuh-tumbuhan, hewan ternak, dan harta benda lainnya yang berguna dalam kehidupan.
“Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan, Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”(al-Baqarah: 29)
Sebagaimana keterangan di atas, Islam mempunyai pandangan yang jelas mengenai harta dan kegiatan ekonomi. Pandangan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

Pertama, pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini, termasuk harta benda, adalah milik Allah SWT. Kepemilikan oleh manusia hanya bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuan-Nya.
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka, orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya mendapatkan pahala yang besar.” (al-Hadiid: 7)
..dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruiakan-Nya kepada kalian...” (an-Nuur: 33)

Dalam sebuah hadits riwayat Abu Dawud, Rasulullah saw bersabda,
“Seseorang pada Hari Akhir nanti pasti akan ditanya tentang empat hal: usianya untuk apa dihabiskan, jasmaninya untuk apa dipergunakan, hartanya dari mana didapatkan dan untuk apa dipergunakan, serta ilmunya untuk apa dia pergunakan.”

Kedua, status harta yang dimiliki manusia adalah sebagai berikut:
1. Harta sebagai amanah (titipan, as a truth) dari Allah SWT. Manusia hanyalah pemegang amanah karena memang tidak mampu mengadakan benda dari tiada. Dalam bahasa Einstein, manusia tidak mampu menciptakan energi; yang mampu manusia lakukan adalah mengubah dari satu bentuk energi ke bentuk energi yang lain. Pencipta awal segala energi adalah Allah SWT.

2. Harta sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya dengan baik dan tidak berlabih-lebihan. Manusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk memiliki, menguasai, dan menikmati harta. Firman-Nya, "Dijadikan indah pada(pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)." (Ali Imran:14) Sebagai perhiasan hidup, harta sering menyebabkan keangkuhan, kesombongan, serta kebanggaan diri (al-'Alaq:6-7)

3. Harta sebagai ujian keimanan. Hal ini terutama menyangkut soal cara mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam ataukah tidak(al-anfal: 28)

4. Harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksanakan perintah-Nya dan melaksanakan muamalah diantara sesama manusia, melalui kegiatan zakat, infak, sedekah (at-Taubah: 41, 60; Ali Imran:133-134)

  Ketiga: pemilikan harta dapat dilakukan antara lain melalui usaha(amal) atau mata pencaharian (ma'isyah) yang halal dan sesuai dengan aturan-Nya. banyak ayat Al-Quran dan hadits Nabi yang mendorong umat Islam bekerja mencari nafkah secara halal.

"Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya...(al-Mulk:15)

"Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik.."(al-Baqarah: 267)

Ayat yang semakna akan kita temukan pada surah at-Taubah: 105, al-Jum'ah;10, juga dikemukakan dalam beberapa hadits, antara lain berikut ini.
"Sesungguhnya Allah mencintai hamba-Nya yang bekerja. Barang siapa yang bekerja keras mencari nafkah yang halal untuk keluarganya maka sama seperti mujahid di jalan Allah." (HR Ahmad)

"Mencari rezeki yang halal adalah wajib setelah kewajiban yang lain."(HR Thabrani)

Keempat: dilarang mencari harta, berusaha, atau bekerja yang dapat melupakan kematian (at-Takaatsur: 1-2), melupakan dzikrullah (tidak ingat kepada Allah dengan segala ketentuan-Nya) (al-Munaafiquun: 9), melupakan shalat dan zakat (an-Nuur: 37), dan memusatkan kekayaan hanya pada sekelompok orang kaya saja (al-Hasyr: 7).

Kelima: dilarang menempuh usaha yang haram, seperti melalui kegiatan riba (al-Baqarah: 273-281), perjudian, berjual beli barang yang dilarang atau haram (al-Maa'idah:90-91), mencuri, merampok, penggasaban (al-Maaidah: 38), curang dalam takaran dan timbangan (al-Muthaffifiin: 1-6), melalui cara-cara yang batil dan merugikan (al-Baqarah: 188), dan melalui suap-menyuap (HR Imam Ahmad).

Ekonomi syariah

Ekonomi syariah merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai Islam. Ekonomi syariah atau sistem ekonomi koperasi berbeda dari kapitalisme, sosialisme, maupun negara kesejahteraan (Welfare State). Berbeda dari kapitalisme karena Islam menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap buruh yang miskin, dan melarang penumpukan kekayaan. Selain itu, ekonomi dalam kaca mata Islam merupakan tuntutan kehidupan sekaligus anjuran yang memiliki dimensi ibadah yang teraplikasi dalam etika dan moral .

 Perbedaan ekonomi syariah dengan ekonomi konvensional

Krisis ekonomi yang sering terjadi ditengarai adalah ulah sistem ekonomi konvensional, yang mengedepankan sistem bunga sebagai instrumen provitnya. Berbeda dengan apa yang ditawarkan sistem ekonomi syariah, dengan instrumen provitnya, yaitu sistem bagi hasil.
Sistem ekonomi syariah sangat berbeda dengan ekonomi kapitalis, sosialis maupun komunis. Ekonomi syariah bukan pula berada di tengah-tengah ketiga sistem ekonomi itu. Sangat bertolak belakang dengan kapitalis yang lebih bersifat individual, sosialis yang memberikan hampir semua tanggungjawab kepada warganya serta komunis yang ekstrem, ekonomi Islam menetapkan bentuk perdagangan serta perkhidmatan yang boleh dan tidak boleh di transaksikan. Ekonomi dalam Islam harus mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, memberikan rasa adil, kebersamaan dan kekeluargaan serta mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap pelaku usaha.
  
Ciri khas ekonomi syariah

Tidak banyak yang dikemukakan dalam Al Qur'an, dan hanya prinsip-prinsip yang mendasar saja. Karena alasan-alasan yang sangat tepat, Al Qur'an dan Sunnah banyak sekali membahas tentang bagaimana seharusnya kaum Muslim berprilaku sebagai produsen, konsumen dan pemilik modal, tetapi hanya sedikit tentang sistem ekonomi. Sebagaimana diungkapkan dalam pembahasan diatas, ekonomi dalam Islam harus mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap pelaku usaha. Selain itu, ekonomi syariah menekankan empat sifat, antara lain:
  1. Kesatuan (unity)
  2. Keseimbangan (equilibrium)
  3. Kebebasan (free will)
  4. Tanggungjawab (responsibility)
    Manusia sebagai wakil (khalifah) Tuhan di dunia tidak mungkin bersifat individualistik, karena semua (kekayaan) yang ada di bumi adalah milik Allah semata, dan manusia adalah kepercayaan-Nya di bumi. Di dalam menjalankan kegiatan ekonominya, Islam sangat mengharamkan kegiatan riba, yang dari segi bahasa berarti "kelebihan". Dalam Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 275 disebutkan bahwa Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba...

     Tujuan Ekonomi Islam

    Ekonomi Islam mempunyai tujuan untuk memberikan keselarasan bagi kehidupan di dunia. Nilai Islam bukan semata-semata hanya untuk kehidupan muslim saja, tetapi seluruh mahluk hidup di muka bumi. Esensi proses Ekonomi Islam adalah pemenuhan kebutuhan manusia yang berlandaskan nilai-nilai Islam guna mencapai pada tujuan agama (falah). Ekonomi Islam menjadi rahmat seluruh alam, yang tidak terbatas oleh ekonomi, sosial, budaya dan politik dari bangsa. Ekonomi Islam mampu menangkap nilai fenomena masyarakat sehingga dalam perjalanannya tanpa meninggalkan sumber hukum teori ekonomi Islam, bisa berubah