Penerapan sistem ekonomi terkait
perbankan dan keuangan berdasarkan syariah telah berkembang secara
signifikan khususnya di Malaysia dan Indonesia yang menandai kebangkitan sistem
ekonomi yang bersandarkan pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan perbankan
dan keuangan syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh sistem
ekonomi konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah bercokol cukup lama di
negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk memurnikan
kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur yang bertentangan dan berlawanan dengan
prinsip ajaran Islam (Al Quran dan Hadist).
Ekonomi Islam memang tidak memiliki
sejumlah teori khusus dan rinci yang menerangkan ilmu (sains) ekonomi
sebagaimana ekonomi kapitalistik ditata dan disebarluaskan. Namun, ekonomi
Islam mempunyai konsep normatif seperti mengenai larangan riba, hal kepemilikan
harta dan pekerjaan, penguasaan barang atas hajat hidup orang banyak (public
goods) serta jaminan dan solidaritas sosial (pengentasan kemiskinan)
melalui pemberdayaan konsep zakat. Pada masa Rasulullah prinsip-prinsip Islam
tentang kehidupan bermasyarakat dijalankan secara sempurna dan bermanfaat
sehingga menarik perhatian banyak kalangan yang belum mengerti ajaran Islam.
Maka tak heran jika perkembangan agama Islam menjadi begitu meluas
menembus batas jazirah Arab.
EKONOMI ISLAM
Pada dasarnya Ekonomi Islam yang merupakan sistem ekonomi syariah itu berdiri tegak pada azas-azas kebersamaan dan keadilan dalam mencapai tujuan. Paling tidak terdapat empat prinsip yang melandasi praktik ekonomi Islam.
Pada dasarnya Ekonomi Islam yang merupakan sistem ekonomi syariah itu berdiri tegak pada azas-azas kebersamaan dan keadilan dalam mencapai tujuan. Paling tidak terdapat empat prinsip yang melandasi praktik ekonomi Islam.
Pertama, anjuran membelanjakan harta
di jalan Allah semaksimal mungkin guna tercapainya keadilan dan kesejahteraan
sosial. Malalui prinsip ini kemudian terejawantahkan konsep zakat, sedekah,
infak, wakaf dan sebagainya. Pada dasarnya Islam tidak mentolerir
terjadinya kesenjangan mencolok antara kaum the have dengan kalangan the
have not.
Kedua, larangan untuk melakukan
riba. Para ulama memang terpecah pendapat dalam menyikapi apakah bunga bank
termasuk riba? Namun demikian pada dasarnya mereka sama-sama sepakat bahwa
apabila ada dua orang melakukan transaksi (bisnis) tidak boleh ada salah
seorang diperlakukan “kalah” sehingga muncul skema win-lose, salah
seorang menderita kerugian dari pada yang lain. Sehingga muncul ketidak-adilan
dalam menanggung resiko.
Lalu muncul prinsip ketiga, membagi
resiko bersama (risk sharing). Jika suatu usaha yang dikelola bersama
mengalami kerugian maka para pihak dapat menanggung resiko secara bersama-sama
secara adil dan bijaksana, tidak boleh salah satu pihak merasa tidak puas
karena didzholimi.
Terkait prinsip ketiga maka terdapat
prinsip keempat yaitu melarang terjadinya eksploitasi dari satu manusia pada
manusia lainnya. Artinya, salah satu pihak yang bersepakat untuk suatu usaha
(bisnis) tidak boleh menjadi kaya sendiri sementara pihak lain dalam situasi
menderita. Dalam konteks ini maka pembagian keuntungan yang berat sebelah dalam
suatu kontrak karya (proyek bisnis) misalnya bisa disebut sebagai kontrak karya
yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Prinsip kelima adalah larangan
melakukan usaha yang bersifat spekulasi. Contoh kongkrit adalah judi. Setiap
usaha telah ditelaah, direncanakan matang, tertata baik dan logis, lalu
prediksi dan antisipasi dilakukan sesuai prinsip rasionalitas bukan
didasarkan perilaku spekulatif yang nir data dan informasi tidak akurat.
Prinsip ini merupakan pengejawantahan manajemen modern. Namun manusia acapkali
serakah dan amoral yang membuat prinsip diatas terabaikan.
Pada masa kejayaan Islam suasana
kehidupan dan kesejahteraan masyarakat terperhatikan, prinsip keadilan ditegakkan,
tauhid sosial juga dipraktikkan melalui kepedulian terhadap kaum papa dan
lemah. Jaminan dan solidaritas sosial yang dibangun dari prinsip Islam yakni
mengoptimalkan peran dan fungsi zakat mampu menjembatani kesenjangan si kaya
dan si miskin Kegiatan praktik bisnis bersifat eksploitasi, curang dan serakah
dicegah dan dilarang.
OPTIMALISASI ZAKAT UNTUK
KESEJAHTERAAN
Sekarang ini negara-negara Islam hanya mampu menerapkan sebagian (terpisah-pisah) dari sistem ekonomi Islam seperti perbankan, pembiayaan dan asuransi sharia. Kenyataan bahwa paradigm yang sudah tersurat dan tersirat dalam ajaran Islam ini memang masih belum dioptimalkan oleh umat Islam itu sendiri karena kuatnya pengaruh ekonomi konvensional.
Sekarang ini negara-negara Islam hanya mampu menerapkan sebagian (terpisah-pisah) dari sistem ekonomi Islam seperti perbankan, pembiayaan dan asuransi sharia. Kenyataan bahwa paradigm yang sudah tersurat dan tersirat dalam ajaran Islam ini memang masih belum dioptimalkan oleh umat Islam itu sendiri karena kuatnya pengaruh ekonomi konvensional.
Salah satu instrumen untuk
pemerataan kesejahteraan masyarakat dalam pandangan ekonomi Islam adalah zakat.
Konsep zakat semestinya dapat diberdayakan untuk menjembatani kesenjangan
ekonomi antara si kaya dan si miskin sehingga akan mampu mewujudkan keadilan
sosial yang pada gilirannya kondusif bagi perkembangan iklim usaha. Sudahkan
konsep ini diterapkan optimal?
Zakat belum dijadikan mainstream
pengambilan kebijakan ekonomi pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan secara
menyeluruh. Padahal potensi itu terbuka lebar dan hasil analisis menunjukkan
bahwa persoalan kesenjangan kaya dan miskin tidak akan melebar bahkan mengecil
asalkan kebijakan dan manajemen zakat secara komprehensif dibenahi dan
diberdayakan oleh pemerintah (hasil penelitian Kholilah CIES UB Malang 2011).
Penulis yakin pengentasan kemiskinan dapat teratasi dengan mengeluarkan
kebijakan untuk mengintegrasikan zakat profesi dan pajak penghasilan.
Sebagaimana di Malaysia, bentuk integrasinya dengan mensosialisasikan zakat
sebagai pengurang penghasilan kena pajak sesuai UU No. 2000 tentang Pajak
Penghasilan. Jumlah zakat yang terkumpul tentu perlu diawasi penggunaannya,
tidak boleh dipakai untuk pembangunan infrastruktur, sarana prasarana publik,
karena pembayar zakat tidak boleh ikut menikmati hasil zakat. Hal ini karena
zakat dalam Islam memang diperuntukkan untuk pengentasan kemiskinan alias
pemerataan kesejahteraan. Selain dapat mengentaskan kemiskinan, apabila
kebijakan ini diterapkan justru memungkinkan bertambahnya jumlah wajib pajak
(WP) karena secara psikologis WP Muslim akan merasa diperlakukan adil dan
banyak manfaat, sehingga mendorongnya bersikap jujur dalam membayar pajak.
Bertambahnya WP berarti meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan.
Konsep zakat yang berfungsi untuk
pemerataan kesejahteraan umat ini adalah bagian dari ekonomi Islam. Namun
sayangnya masyarakat Muslim termasuk pemerintah tampak lebih sibuk dengan
perbankan dan keuangan syariah semata. Sehingga tidak heran jika mencuat
pertanyaan, bisakah ekonomi Islam memberikan sumbangan berarti bagi
kesejahteraan rakyatnya di suatu Negara berdaulat yang mayoritas beragama
Islam? Hal ini karena awam melihat ekonomi Islam masih sebatas perbankan dan
keuangan yang dalam berbagai aspek operasional masih mirip dengan sistem
ekonomi konvensional. Disisi lain kita masih terpaku dan hanya berkutat pada
perbankan dan keuangan syariah semata, sementara zakat belum terperhatikan
dengan baik dan sistematik.
- Sumber :
http://fossei.org/2013/04/zakat-untuk-pemerataan-kesejahteraan-potensi-yang-belum-optimal/#sthash.0z2ZoHJI.dpuf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar