قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: (إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِين). 26) (Q.S. Al-Qashash (28):
وَقَالَ رَسُوْلُهُ الْمُصْطَفَى r: (مَا عَالَ مَنِ اْقَتَصَدَ).
)[1](
dakwatuna.com - Tidak semua ahli ekonomi punya
perilaku ekonomi yang tepat dan benar, tidak semua yang ekonomis
tersentuh oleh keadaan masyarakat miskin yang memprihatinkan. Tetapi
Rasulullah Saw negarawan yang mempraktekkan perilaku ekonomi keseharian
yang cemerlang, pemimpin negara yang cepat terkontaminasi dengan
masalah-masalah masyarakat miskin yang memilukan, pemerhati sosial yang
menyesuaikan diri dengan lingkungan menengah ke bawah, tidak hidup
foya-foya di tengah penderitaan mereka, menolak keinginan sebagian
sahabat yang ingin melihat dirinya hidup sejajar dengan seorang raja
atau kaisar, bahkan menolak harta dan tahta yang ditawarkan orang-orang
kafir Mekah demi mengurung niatnya mendakwahkan syariat Islam yang
menegaskan persamaan derajat manusia selaku hamba di sisi Allah SWT.
([2])
Di antara Keteladanan ekonomis yang hidup menghias biografi beliau,
kisah Fatimah RA yang mendatangi Rasulullah Saw, sementara di lehernya
melingkar kalung emas. Dia ditegur dengan nada keras yang mengingatkan
keurgensian kepedulian sosial di tengah masyarakat yang serba
kekurangan, beliau bersabda: “wahai Fatimah, apa kata orang-orang:
Fatimah binti Muhammad Saw, di tangannya ada rantai api.” Ia pun keluar
dan tidak menemaninya duduk seperti biasa. Fatimah RA yang sangat
mengerti perasaan Rasulullah langsung menjual kalung emas tersebut, dan
harganya dipakai membeli hamba yang kemudian dimerdekakan. Rasulullah
Saw pun gembira mendengarnya dan bertakbir, kemudian berkata:
“Alhamdulillah yang telah menyelamatkan Fatimah dari api neraka.”
([3])
Praktek ekonomi Rasulullah Saw bukan karbitan atau kopian masyarakat
Madinah yang heterogen, tetapi hasil tempaan sejak dini. Ekonomi mandiri
dibangun dari hasil jerih payah yang halal, bukan dari praktek dagang
atau bisnis yang tidak sehat. Berkat takdir dan tadbir Allah SWT, sesi
kehidupan Rasulullah Saw di Mekah menayangkan kegigihannya berjuang
mencari nafkah sebagai penggembala kambing dan pedagang yang
dipekerjakan oleh Sayyidah Khadijah RA, istri pertama Rasulullah Saw
sendiri di kemudian hari.
([4])
Di sesi ini, dia menanamkan nilai ekonomi, arti sebuah keberhasilan
hidup yang didasari oleh kekuatan fisik, cara berpikir maju, amanah, dan
benar dalam setiap perilaku, seperti yang ditegaskan kilauan makna ayat
di atas.
Mekah, kota kelahiran Rasulullah Saw, tercatat sebagai kota bisnis
terbesar di daratan Arab, selain itu, ia juga kota suci mereka.
Orang-orang Quraisy Mekah memiliki dua rute perjalanan bisnis: pertama
ke Yaman di musim dingin, karena kota ini sendiri cukup hangat pada
musim itu, dan kedua ke Syam di musim panas. Setelah hasyim bin Abdu
Manaf, yang dituakan di masyarakat Quraisy, datang, ia pun menghidupkan
salah satu tipe kepedulian ekonomi dan keseimbangan sosial yang berusaha
menekan jarak sosial antara yang kaya dan miskin sehingga tidak terjadi
sebuah ketimpangan sosial yang melahirkan kedengkian dan kebencian.
Rasulullah Saw menyaksikan semua itu. Di kunjungan bisnisnya sebagai
salah satu orang kepercayaan Sayyidah Khadijah RA, ia memperagakan
praktek dagang yang luar biasa. Harga barang didasari tingkat beli
konsumen. Jika yang menawar dari fakir-miskin, harga pun diturunkan
sehingga terjangkau oleh tingkat beli mereka, jika pembeli dari strata
sosial menengah ke atas, harga pun dinaikkan sesuai daya beli mereka.
Ternyata, tipe bisnis seperti ini mendatangkan laba yang berlipat ganda.
Faktor inilah yang menjadi salah satu daya tarik maknawi Rasulullah Saw
yang menyebabkan Sayyidah Khadijah RA menginginkan dirinya sebagai
suami.
Yang diyakini juga, Rasulullah Saw pada masa ini telah menyaksikan
praktek-praktek dagang yang merugikan dan mengancam dinamika sosial
masyarakat yang didasari oleh kepedulian dan keseimbangan sosial.
Olehnya itu, hadits-hadits Rasulullah Saw di Madinah, fase kedua
kehidupan Rasulullah Saw, kaya dan sarat dengan pesan-pesan ekonomi yang
meneladankan praktek bisnis yang sehat dan halal. Di antara kekayaan
makna tersebut, hadits yang mengharamkan riba dan praktek-prakteknya.
Olehnya itu, riba yang pertama dijatuhkan dalam sejarah bisnis Islam,
riba pamannya, Abbas bin Abdul Muttalib, dan yang berhak dimilikinya
hanyalah modal pokok saja.
([5])
Kebijakan ekonomi ini disampaikan di Haji Wadha’. Tentunya, sentuhan
kebijakan ini diterima terbuka secara luas oleh masyarakat Islam pada
saat itu. Yang demikian itu karena jangkauan penerapan kebijakan ini
terlebih dahulu menyentuh keluarga terdekatnya sebelum orang lain.
Kebijakan seperti ini bukan hal asing sesuai dengan dialektika penerapan
syariat Al-Quran yang terlebih dahulu diamini dan dilakukan oleh
keluarga Rasulullah Saw dan kerabatnya sebelum orang lain.
Di samping itu, kebijakan ekonomi Rasulullah Saw mampu menciptakan
kemajuan ekonomi yang mapan, tidak menggantungkan diri dari orang-orang
Yahudi yang tercatat sebagai pengunjung pasar yang tahu banyak
praktek-praktek ekonomi yang sakit. Olehnya itu, langkah pertama yang
diambil Rasulullah Saw dalam hal ini membangun pasar sebagai sarana umum
kedua setelah masjid. Pasar tersebut menjadi wadah jual beli yang
memungkinkan umat Islam di Madinah meninggalkan pasar Bani Qaenaqâ’ di
salah satu perkampungan Yahudi dan tidak mengunjunginya lagi untuk
selama-lamanya yang memamerkan bentuk jual-beli terlarang, seperti:
riba, judi, tipu, dan timbun barang.
([6]) Tujuan lain pasar islami Rasulullah Saw tersebut antara lain:
- Menyucikan harta muslim dari kotoran tipe-tipe muamalah Yahudi yang
zhalim. Ini yang di kemudian hari dikenal sebagai infrastruktur ekonomi
yang paling mendasar.
- Menyucikan jual beli umat Islam dari pajak, sogokan, dan
setoran-setoran yang tidak memperhatikan kaedah-kaedah muamalah pasar
dan bisnis Islam. Yang demikian itu dapat menyebabkan kenaikan harga
terhadap komoditi pasar yang diperjualbelikan. Olehnya itu, Rasulullah
Saw mengharamkan pungutan bayaran tanpa alasan yang jelas.
- Rasulullah Saw ingin membuktikan keuniversalan Islam sebagai agama
rahmat untuk seantero alam. Dia bukan hanya agama ibadah, tetapi agama
yang mementingkan ekonomi umat.
- Pasar Islam pertama tersebut merupakan elemen penting dari
terbentuknya kekuatan ekonomi yang mampu menjaga dan melestarikan harta
umat.
- Umat Islam wajib menciptakan kesatuan ekonomi yang dipelopori
negara-negara Islam dalam mengambil kebijakan-kebijakan ekonomi dalam
mengatur penggunaan dan pemberdayaan sumber-sumber alam sehingga tidak
dieksploitasi oleh pihak-pihak asing yang merugikan.
Kebijakan ekonomi Rasulullah Saw yang tidak kalah penting,
menciptakan jalinan persaudaraan antara kaum Muhajirin Mekah dan kaum
Anshar Madinah. Di antara bentuk kepedulian kaum Anshar Madinah yang
menyambut baik kedatangan saudara mereka yang hijrah, keinginan mereka
untuk merangkul saudara mereka menikmati harta, tanah, dan rumah dengan
berbagi dua. Meskipun kaum Muhajirin mensyukuri niat baik tersebut,
tetapi mereka lebih memilih bekerja dan menghidupi diri mereka sendiri
dengan membuka lapangan pekerjaan baru, khususnya berdagang yang
merupakan keahlian mayoritas dari mereka.
([7]) Jalinan
persaudaraan ini tafsiran hidup dan aplikasi nyata hadits-hadits
berikut yang diberkati Q.S. Al-Hasyr (59): 9 yang memuji mereka:
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ r: (الْمُسْلِمُونَ تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ
يَسْعَى بِذِمَّتِهِمْ أَدْنَاهُمْ، وَيُجِيرُ عَلَيْهِمْ أَقْصَاهُمْ،
وَهُمْ يَدٌ عَلَى مَنْ سِوَاهُمْ، يَرُدُّ مُشِدُّهُمْ عَلَى مُضْعِفِهِمْ
وَمُتَسَرِّعُهُمْ عَلَى قَاعِدِهِمْ، لاَ يُقْتَلُ مُؤْمِنٌ بِكَافِرٍ
وَلاَ ذُو عَهْدٍ فِى عَهْدِهِ (.
)[8](
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ t، قَالَ: قَالَ
رُسُولُ اللَّهِ r: (مَنْ كَانَ مَعَهُ فَضْلُ ظَهْرٍ ، فَلْيَعُدْ بِهِ
عَلَى مَنْ لا ظَهْرَ لَهُ، وَمَنْ كَانَ لَهُ فَضْلُ زَادٍ، فَلْيَعُدْ
بِهِ عَلَى مَنْ لا زَادَ لَهُ، قَالَ: فَذَكَرَ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ
مَا ذَكَرَ حَتَّى رَأَيْنَا أَنَّهُ لا حَقَّ لأَحَدٍ مِنَّا فِي فَضْلٍ).
)[9](
(وَالَّذِينَ تَبَوَّؤُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ
قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي
صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ
وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ
هُمُ الْمُفْلِحُونَ).
Kebijakan ekonomi berikutnya yang ikut menyempurnakan sistem ekonomi
umat di Madinah, anjuran Rasulullah Saw memakmurkan bumi dengan
menggarap dan mengolah tanah mati. Panggilan kenabian ini awal dari
pengelolaan lahan pertanian yang cukup luas. Olehnya itu, seruan ini
dipagar dengan kebijakan lain yang memberikan hak kepemilikan kepada
siapa saja yang telah menghidupkan tanah mati.
عَنْ سَعِيدِ بْنِ زَيْدٍ عَنِ النَّبِىِّ r
قَالَ: (مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَةً فَهِىَ لَهُ وَلَيْسَ لِعِرْقٍ ظَالِمٍ حَقٌّ).)[10](
Langkah maju ini wajib diikuti secara luas pemerintah-pemerintah
negara Islam dengan memudahkan hijrah bagi penduduk wilayah-wilayah
padat, sempit, dan macet ke daerah-daerah transmigrasi yang menunggu
uluran tangan untuk menghidupkan lahan-lahan matinya.
Di samping itu, Rasulullah Saw memerintahkan pembukuan utang-piutang
seperti yang disuarakan Q.S. Al-Baqarah (2): 282 supaya kedua belah
pihak terhindar dari buruk sangka jika terjadi salah paham di antara
mereka. Saling memercayai wajib mendasari setiap kontrak bisnis, tetapi
itu tidak cukup, kesepakatan tersebut sepatutnya dipagari dengan catatan
cek demi menjaga kepercayaan mitra bisnis. Dia pun berhasil mengakhiri
monopoli dagang dan profesi bisnis Yahudi yang menguasai pasar Bani
Qaenaqa’ di Madinah. Yang demikian itu karena keberhasilan ekonomi
masyarakat dilihat dari pemerataan distribusi profesi bisnis di kalangan
para pelaku bisnis pasar. Sementara itu, monopoli profesi bisnis
memberi kesempatan sebagian pihak menentukan harga sesuai dengan
keinginan mereka dan penimbunan barang yang merugikan konsumen, bahkan
bisa memicu iri hati dan hasut masyarakat menengah ke bawah terhadap
mereka sehingga terjadi revolusi berdarah di antara mereka, seperti yang
pernah ditayangkan kehidupan masyarakat Eropa di saat buruh kerja
mereka bangkit menuntut hak mereka yang direnggut zhalim oleh para
pemilik properti.
Kebijakan ekonomi Rasulullah Saw yang dekat dengan di atas,
kebijakannya menolak permintaan sebagian sahabat yang merasa dirugikan
pihak pembeli untuk meletakkan harga terhadap komoditi pasar
(التّسْعِيْر). Yang demikian itu karena jual-beli islami didasari ridha
para pelaku bisnis; penjual dan pembeli. Jika Rasulullah Saw menentukan
harga komoditi pasar hanya karena mengikuti keinginan pembeli, tentunya
penjual merasa dizhalimi. Sementara itu, kepala pemerintah (Rasulullah
Saw dalam hal ini) wajib memberikan kebijakan menguntungkan dan
pelayanan yang sama terhadap semua elemen masyarakat, khususnya
masyarakat pasar. Di lain sisi, penentuan harga barang menyebabkan para
penjual hijrah mencari pasar-pasar alternatif, sehingga dengan
sendirinya harga barang naik karena terjadi loncatan permintaan dari
pihak konsumen, sementara komoditi pasar yang diperjualbelikan berkurang
seiring dengan hijrahnya para pemilik barang ke tempat lain. Kesadaran
ekonomi ini dapat Anda temukan di hadits-hadits berikut:
عَن أَبِيْ سَعِيْدِ الْخُدْرِيّ رt أَن رَسُولَ اللهِ r َ قَالَ: (إِنَّمَا البيع عَن ترَاضٍ).
)[11](
عَنْ أَبِي حُرَّةَ الرَّقَاشِيِّ عَنْ عَمِّه عَن رَسُول الله r : (لاَ يَحِلُّ لاِمْرِئٍ مِن مَالِ أَخِيهِ شَيْء إِلَّا بِطيب نَفْس مِنْهُ).
)[12](
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ النَّاسُ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، غَلاَ السِّعْرُ فَسَعِّرْ لَنَا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ r:
(إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّازِقُ،
وَإِنِّى لأَرْجُو أَنْ أَلْقَى اللَّهَ وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ
يُطَالِبُنِى بِمَظْلَمَةٍ فِى دَمٍ وَلاَ مَالٍ).
)[13](
Selain itu, Rasulullah Saw menganjurkan efisiensi dan hemat dalam
menggunakan sumber daya alam. Bukankah hemat pangkal kaya, seperti
penegasan hadits kedua di atas? Sumber daya alam yang tidak dikelola
dengan efisien akan terkuras perlahan-lahan dan habis meski ia mengalir
seperti air pancuran yang deras. Ini ditegaskan sendiri hadits
Rasulullah saw yang menganjurkan efisiensi penggunaan air meski Anda
dibanjiri air.
عَنِ ابْنِ عُمَر t: (أَنَّ النَّبِيَّ r مَرَّ بِسَعْدٍ
وَهُوَ يَتَوَضَّأُ فَقَالَ: مَا هَذَا السَّرَفُ؟ قَالَ: أَفِي
الْوُضُوءِ إسْرَافٌ؟ قَالَ: نَعَمْ، وَإِنْ كُنْت عَلَى نَهْرٍ جَارٍ).
([14])
Boros menggunakan sumber daya alam menjanjikan kemiskinan dan
kemalangan nasib yang berkepanjangan. Olehnya itu, sejak dini Rasulullah
Saw mengingatkan umat keurgensian hemat demi menjaga berkah Allah SWT
dalam mengelola kekayaan alam. Ustadz Said Nursi yang mengikuti
keteladanan Rasulullah Saw dalam menghidupkan sifat baik tersebut
mencoba memberikan contoh perbandingan antara yang menghidupkan praktek
ekomomis yang efisien dengan yang mengabaikannya, beliau berkata:
“
Kenikmatan yang tengah dirasakan si miskin dari sepotong roti
kering lagi berjamur hanya karena lebih mengedepankan sifat ekonomis
dapat melebihi cita rasa sang penguasa atau orang kaya yang sedang
mencicipi manisan dengan penuh kebosanan dan selera makan yang berkurang
akibat keborosan. Dan yang patut dicengangkan, keberanian sebagian
pihak yang mengabaikan praktek ekonomis untuk melancarkan tuduhan hina
yang tidak beralasan kepada mereka yang hemat. Sementara di lain pihak,
hemat adalah kemuliaan dan kebersahajaan, sedangkan kehinaan dan
kemalangan adalah hasil dari praktek boros yang tengah dijalankan.“([15])
Olehnya itu, kesadaran berperilaku ekonomi secara luas wajib
disosialisasikan secara terpadu yang digerakkan oleh
pemerintah-pemerintah negara Islam bersama masyarakat dunia Islam
sehingga tercipta ekonomi Islam yang bebas dan suci dari praktek-praktek
ekonomi kotor. boros bukan hanya terbatas pada penggunaan sumber daya
alam secara berlebihan, tetapi lebih dari itu, boros dapat juga dimaknai
dengan hilangnya kepedulian sosial dan ekonomi melihat kezhaliman
tangan-tangan jahil yang merampas hak-hak orang miskin, tidak bangkit
menghentikan praktek riba dan kecurangan di pasar dengan menambah dan
mengurangi takaran. Kondisi memprihatinkan inilah sebab utama bencana
dan musibah yang tidak kunjung berhenti merenggut korban jiwa dan
kerugian harta yang tidak terkira. Seandainya bumi ini tidak dihuni oleh
makhluk Allah SWT selain dari manusia, langit tidak akan pernah
kelihatan mendung memberi curah hujan, seperti yang diperingatkan
Rasulullah Saw di bawah ini:
عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِى رَبَاحٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ عُمَرَ قَالَ: (أَقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ r فَقَالَ: يَا
مَعْشَرَ الْمُهَاجِرِينَ، خَمْسٌ إِذَا ابْتُلِيتُمْ بِهِنَّ، وَأَعُوذُ
بِاللَّهِ أَنْ تُدْرِكُوهُنَّ، لَمْ تَظْهَرِ الْفَاحِشَةُ فِى قَوْمٍ
قَطُّ حَتَّى يُعْلِنُوا بِهَا إِلاَّ فَشَا فِيهِمُ الطَّاعُونُ
وَالأَوْجَاعُ الَّتِى لَمْ تَكُنْ مَضَتْ فِى أَسْلاَفِهِمُ الِّذِينَ
مَضَوْا. وَلَمْ يَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ إِلاَّ أُخِذُوا
بِالسِّنِينَ وَشِدَّةِ الْمَؤُنَةِ وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ،
وَلَمْ يَمْنَعُوا زَكَاةَ أَمْوَالِهِمْ إِلاَّ مُنِعُوا الْقَطْرَ مِنَ
السَّمَاءِ، وَلَوْلاَ الْبَهَائِمُ لَمْ يُمْطَرُوا وَلَمْ يَنْقُضُوا
عَهْدَ اللَّهِ وَعَهْدَ رَسُولِهِ إِلاَّ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ
عَدُوًّا مِنْ غَيْرِهِمْ فَأَخَذُوا بَعْضَ مَا فِى أَيْدِيهِمْ. وَمَا
لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ وَيَتَخَيَّرُوا مِمَّا
أَنْزَلَ اللَّهُ إِلاَّ جَعَلَ اللَّهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ).
([16])
Kepedulian ekonomi Rasulullah Saw ini tidak melupakan makna-makna
kehidupan, tetapi material ekonomi Islam senantiasa dikaitkan dengan
arti-arti maknawi kehidupan yang menyegarkan. Harta dan ekonomi mapan
bukanlah tujuan utama kehidupan dan standar kejayaan, tetapi ia tidak
lain kecuali wasilah yang menjembatani manusia memperoleh keridhaan
Allah SWT. Olehnya itu, Rasulullah Saw sering kali ditemukan
berjalan-jalan di pasar mengingatkan mereka jual beli yang diharamkan
Islam dengan membaca ayat ini: (وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِيْنَ). Mereka pun
sadar dan mengikuti tuntunan ayat itu demi lahirnya jual beli yang halal
dan sehat. Bukan hanya itu, makna lain yang dikaitkan dengan material
ekonomi Islam, hakikat makna orang-orang yang merugi. Bagi Islam
sendiri, yang benar-benar rugi bukan yang tidak punya uang, tetapi yang
rugi mereka yang tidak menuai ibadahnya di dunia dari shalat, zakat, dan
seterusnya. Yang demikian itu karena lidah dan tangan mereka penuh
dengan kotoran-kotoran kezhaliman yang suka melukai perasaan orang lain
dengan cacian, ghibah, namimah, dan tindak kekerasan yang mengancam
nyawa. Hakikat maknawi ini terhias indah di hadits Rasulullah Saw
berikut ini:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ r قَالَ:
(أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِس؟ قَالُوا: الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لاَ
دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ. فَقَالَ: إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِى
يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِى قَدْ
شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا
وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ
حَسَنَاتِهِ، فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا
عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِى
النَّارِ ).
([17])
Di samping itu, bagi Islam sendiri, kaya hati salah satu kekayaan
maknawi yang lebih penting dari kaya harta. Yang miskin hati selalu
merasa kekurangan dan gelisah memikirkan siang malam kekayaannya dan
takut kehilangan segala-galanya. Tetapi yang kaya hati selalu ingin
menafkahkan hartanya di jalan Allah SWT, hatinya damai, tidak terfitnah
oleh hartanya sendiri sehingga melupakan ibadah, tetapi ia menjadikan
harta tersebut jembatan maknawi meniti ridha Allah SWT di jalan-jalan
kebaikan. Hakikat makna ini disebutkan jelas hadits berikut ini:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ t قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
r: (لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى
النَّفْسِ).
([18])
Yah, kelaparan, kefakiran, dan kemiskinan wabah sosial yang sangat
ditakuti Rasulullah Saw. Tetapi, ia pun menakuti keindahan-keindahan
dunia yang membuai menjadi bunga-bunga kehidupan yang dapat
menjerumuskan umat ke jurang kehancuran. Fitnah harta, wanita, dan tahta
sungguh sangat ditakuti Rasulullah Saw. Ketakutan ini bukanlah pepesan
kosong, tetapi nyata terbukti di kehidupan sehari-hari. Saling menyikut,
menyingkirkan, menodai, bahkan membunuh lahir dari ketamakan hawa nafsu
yang ingin menggenggam fitnah-fitnah dunia itu meski harus melukai
sesama. Kekhawatiran ini ditumpahkan Rasulullah Saw di sabdanya berikut
ini:
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ t أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ r قَالَ :أَخْوَفُ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ مَا يُخْرِجُ اللَّهُ
لَكُمْ مِنْ زَهْرَةِ الدُّنْيَا. قَالُوا: وَمَا زَهْرَةُ الدُّنْيَا يَا
رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: بَرَكَاتُ الأَرْضِ. قَالُوا: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، وَهَلْ يَأْتِى الْخَيْرُ بِالشَّرِّ ؟ قَالَ: لاَ يَأْتِى
الْخَيْرُ إِلاَّ بِالْخَيْرِ ،لاَ يَأْتِى الْخَيْرُ إِلاَّ بِالْخَيْرِ
،لاَ يَأْتِى الْخَيْرُ إِلاَّ بِالْخَيْرِ . إِنَّ كُلَّ مَا أَنْبَتَ
الرَّبِيعُ يَقْتُلُ أَوْ يُلِمُّ إِلاَّ آكِلَةَ الْخَضِرِ فَإِنَّهَا
تَأْكُلُ حَتَّى إِذَا امْتَدَّتْ خَاصِرَتَاهَا اسْتَقْبَلَتِ الشَّمْسَ
ثُمَّ اجْتَرَّتْ وَبَالَتْ وَثَلَطَتْ ثُمَّ عَادَتْ فَأَكَلَتْ. إِنَّ
هَذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ فَمَنْ أَخَذَهُ بِحَقِّهِ وَوَضَعَهُ
فِى حَقِّهِ فَنِعْمَ الْمَعُونَةُ هُوَ، وَمَنْ أَخَذَهُ بِغَيْرِ حَقِّهِ
كَانَ كَالَّذِى يَأْكُلُ وَلاَ يَشْبَعُ).
([19])
Di penghujung tulisan ini, saya mengajak para pecinta ekonomi Islam menyuarakan kesimpulan berikut:
“Islam bukan hanya agama ibadah, tetapi agama yang peduli terhadap
keselamatan ekonomi umat dari praktek-praktek bisnis yang kotor. Harta
dan kejayaan bisnis bukanlah tujuan utama, tetapi ia ditempatkan sebagi
jembatan maknawi meniti ridha Allah SWT. Rasulullah Saw negarawan yang
telah mencontohkan perilaku ekonomi sehat, peduli derita masyarakat
miskin, memompa semangat ekonomi Islam untuk mengambil alih tali kekang
perekonomian dari tangan Yahudi yang dipenuhi dengan
kecurangan-kecurangan yang merugikan. Dia selalu mengaitkan material
ekonomi dengan makna-makna kehidupan sehingga semangat beragama umat
tetap hidup terpatri di tengah pengaruh-pengaruh materi yang membutakan.
Yang paling menakutkan dari sebuah kejayaan ekonomi adalah fitnah dunia
dan ini pun disadari Rasulullah Saw sebagai ancaman berbahaya yang
dapat melahap semua berkah bumi yang telah diraih. Olehnya itu,
pesan-pesan maknawinya terlebih dahulu mengingatkan umat terhadap
ketakutan tersebut. Hematnya, Jika Rasulullah Saw ingin disejajarkan
dengan para reformer dan revolusioner ekonomi, ia berada di garda depan
yang tidak tertandingi. Ini yang diyakini penulis, dan semoga itu juga
yang diyakini para pemerhati ekonomi Islam.”
Catatan Kaki:
([1]) Hadits riwayat
Sunan Imam Ahmad dan Imam at-Tabrâni di
al-Mu’jam al-Kabîr dan
Mu’jam al-Awsat. Ibrâhîm bin Muslim al-Hajarî, salah satu perawi hadits ini terhitung lemah periwayatannya oleh ahli hadits. Lihat:
Majma’ az-Zawâid wa Manba’ al-Fawâid, hadits, no: 17848, hlm. 443
([2]) Lihat: Syekh Shafiyyu ar-Rahmân al-Mubarkafuri,
ar-Rahîq al-makhtûm, Dar Ibn Khaldun, hlm. 69
([3]) Hadits riwayat Tsawbân Mawla Rasulullah Saw di
Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, hadits. no: 22398, vol. 37, hlm. 83-84
Para pentahkik musnad ini berkata:
“perawi-perawi hadits ini
semuanya terpercaya, akan tetapi ada perbedaan terhadap yahya bin Abi
Katsir, apakah ia mendengar hadits itu dari Zaid bin Sallam atau tidak?
Yang paling kuat, sebuah kitab yang diambil Yahya dari Muawiyah bin
Salam, saudara Zaid, dan di riwayat ini dinyatakan secara jelas bahwa
Yahya mendengar langsung dari Zaid. Sementara itu, imam an-Nasai melihat
bahwa Zaid bin Salam memberikan izin kepada Yahya bin Abi Katsir untuk
meriwayatkan haditsnya, dan izinnya ini diketahui saudaranya, Muawiyah,
sehingga Yahya dengan izin itu meriwayatkan haditsnya dengan lafadzh: (حَدَّثَنَا), sementara itu, baiknya jika ia mengatakan: (إِجَازَة), artinya, periwayatan yang didasari oleh izin sebelumnya.“
([4]) Lihat: Ibn Ishaq,
as-Sirah an-Nabawiyyah, hlm. 128
([5]) Shahih Imam Muslim, kitab al-haj, bab hujjah an-nabi, hadits no: 3009.
([6]) Ahmad Ibrahim Syarif,
Makkah wa al-madinah fil jahiliyah wa ahd ar-Rasul Saw, Darul fikri al-arabi, vol. 1, hlm. 299
([7]) Lihat: Syekh Shafiyyu ar-Rahmân al-Mubarkafuri,
Op. Cit, hlm. 144
([8]) Hadits riwayat
Sunan Imam Abi Daud, kitab jihad, bab fi as-sariyyah taruddu ala ahli al-askar, hadits no: 2753
([9]) Hadits riwayat
Shahih Imam Muslim, kitab al-laqatah, bab istihbâb al-muâsah bi fudulil mâl, hadits no: 4614
([10]) Hadits riwayat
Sunan Imam Abi Daud, kitab al-Kharâj, bab fi ihyail mawât, hadits no: 3075
([11]) Hadits shahih
Sunan Imam Ibn Majah, kitab at-tijarah, bab bae al-khiyar, hadits. No: 2185
([12]) Hadits shahih li gairihi
Musnad Imam Hanbal, hadits. No: 20695, vol. 34, hlm. 299
([13]) Hadits shahih
Sunan Imam Abi Daud, kitab at-tijarah, bab fi at-tas’ir, hadits. No: 3453
([14]) Hadits riwayat Imam Ibn
Majah dan yang lain. Sanad hadits ini lemah karena diantara
perawi-perawinya ada yang lemah, seperti: Huyaei bin Abdillah dan Ibn
Luhaeah. Lihat: Syekh al-Hasan bin Ahmad ar-Ruba’i,
Fathul Gaffâr al-Jâmi’ li Ahkâmi Sunnati Nabiyyina al-mukhtâr, kitab at-Tharah, hadits. No: 312, hlm. 109
([15]) Said Nursi,
al-lama’ât, hlm. 217
([16]) Jâmi al-hadits, hadits no: 26326
([17]) Hadits riwayat
Shahih Imam Ibn Hibbân, kitab al-hudud, bab az-zina wahdah, hadits no: 4411
([18]) Muttafaq alaih,
di Shahih Imam Muslim, kitab zakat, bab laesa al-gina an-kasrah al-arad, hadits no: 2467
([19]) Shahih Imam Muslim, kitab zakat, bab takhawwuf ma yakhruj min zahrah ad-dunya, hadits no: 2469
Redaktur: Hendra
Topik: Negarawan,
Ekonomis
Keyword: ekonomis,
Muhammad SAW,
negarawan,
rasulullah