Musik

Senin, 07 Oktober 2013

Perbankan syariah: prinsip, praktik, dan prospek

Pernyataan bahwa perbankan syariah merupakan sistem baru dalam dunia perbankan merupakan hal yang salah. Perbankan Syariah sebenarnya telah ada dari jaman munculnya ajaran Islam oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam buku Perbankan Syariah, Prinsip, Praktik dan Prospek yang ditulis Mervin K. Lewis dan Latifa M. Algaoud yang telah diterjemahkan dari Islamic Banking oleh PT. Serambi Ilmu Semesta ini menjelaskan dengan gamblang mengenai kelahiran dan perkembangan perbankan syariah hingga saat ini terdapat 200 bank Islam yang tersebar di lima belahan benua. Afrika, Asia, Australia, Eropa dan Amerika Serikat.
Selama ini banyak buku perbankan syariah dibuat hanya untuk kalangan tertentu, dengan bahasa ekonomi yang sulit dimengerti kaum awam. Namun, buku ini dicetak dengan bahasa yang mudah dipahami bahkan mampu mengajak para pembaca untuk ikut mengalir dalam perkembangan sistem perbankan yang berbasis pada ajaran syariah Islam. Dimulai dari sejarah hadirnya sistem perdagangan dan keuangan bagi kaum muslim, penulis juga berusaha membangkitkan gairah pembaca untuk benar-benar kembali ke masa itu. Menggambarkan dengan sederhana keadaan yang memunculkan pemikiran untuk tidak mengambil nilai lebih dari uang pokok suatu pinjaman atau yang biasa disebut riba.
Sebenarnya bukan hanya ajaran Islam yang melarang adanya riba atau bunga dalam transaksi keuangan, Yahudi dalam kitab Taurat dan umat Kristen dalam kitab Injil dan beberapa hukum yang dibuat para pendeta di abad pertengahan juga melarang diadakannya riba atau usury dalam bahasa Inggris. Mervin Lewis dan Latifa Algaoud membedakan aturan pelarangan riba dalam Islam, Kristen dan Yahudi karena terdapat beberapa perbedaan tujuan maupun alasan pelarangan riba, ini pula yang merupakan awal lahirnya hukum larangan riba dalam perbankan syariah. Hingga saat ini, memang hanya Islam yang tegas melarang transaksi berbau riba. Akan tetapi, secara berangsur-angsur banyak pendapat mulai muncul mengenai jenis bunga yang dikategorikan riba, apakah bunga yang bisa dianggap sebagai bagian imbalan atas peminjaman dan transaksi pada bank, ataukah bunga yang berlebihan. Banyak pertentangan antara kaum ekonom Islam moderen serta kaum yang tetap berpegang teguh pada ayat al-Qur’an bahwa tidak diperkenankan mengambil kelebihan dari uang pokok sebelumnya demi menciptakan transaksi yang jujur dan adil.
Buku ini mengulas banyak pendapat para peneliti dan pemikir perbankan syariah, dengan begitu pembaca akan mendapatkan banyak pandangan dan pengetahuan tentang perbankan syariah, sehingga dapat memilih pendapat manakah yang paling sesuai mengenai sistem perbankan syariah. Hal ini akan mendorong pembaca untuk menjadi kaya akan ilmu pengetahuan, dan sekaligus menutup pandangan kita dari penilaian subjektivitas terhadap suatu wacana sosial yang ada.
Buku ini mencoba memberikan penjelasan mendalam mengenai sifat dan sumber hukum Islam yang menjadi dasar pelarangan riba dan munculnya keinginan kaum muslim untuk mendirikan bank-bank dan badan-badan keuangan yang dapat melindungi kaum muslim di seluruh dunia melalui sistem keuangan yang berdasar pada syariat Islam yaitu Al-qur’an dan hadis. Hal ini sesuai dalam elemen yang terlibat dalam perbankan Islam.
  • tidak ada transaksi keuangan berbasis bunga (riba);
  • semua aktivitas bisnis dan investasi dijalankan sesuai dengan ketentuan syariah (halal);
  • semua jenis transaksi harus bebas dari unsur gharar (spekulasi yang tidak pasti dan tidak masuk akal);
  • setiap bank Islam harus membayar zakat untuk kemudian didistribusikan kepada kelompok masyarakat yang berhak menerimanya (mustahik);
  • semua aktivitas harus sejalan dengan prinsip-prinsip Islam, dengan dewan syariah khusus harus bertindak sebagai penyelia dan memberikan nasihat kepada bank mengenai kepatuhan suatu transaksi.’
Buku ini juga sangat jelas menjabarkan sistem perbankan dan tata kelola keuangan Islam dalam perbankan internasional. Disertai dengan tantangan dan kekurangan yang dihadapi para pelaku perbankan Islam, buku ini mencoba menggambarkan masalah yang menyebabkan terjadinya beberapa kasus insentif dalam dunia perbankan di beberapa negara, terutama Iran, Pakistan dan Sudan yang saat ini tercatat sebagai negara yang mewajibkan perbankan Islam beroperasi di seluruh negeri melalui kontrol dari pemerintah setempat. Banyak pula negara Islam yang tidak menerapkan bahkan lebih memilih menggunakan perbankan konvensional ala Barat yang sifatnya komersial daripada perbankan berbau ‘agama’. Contohnya saja, Indonesia, negara dengan kaum muslim terbesar di dunia hanya memiliki tiga bank saja yang dijalankan sesuai syariat Islam, bahkan hanya satu yang benar-benar murni tanpa sistem campuran konvensional, yakni Bank Muamalat.
Buku yang ditulis dalam delapan bab ini, dibuat sangat teratur mengikuti alur pemikiran Mervyn dan Latifa. Dipaparkan tidak hanya dengan mengolah perkembangan syariah dalam perekonomian dunia akan tetapi juga menghadirkan teori dan studi kasus melalui analisa-analisa yang mudah dipahami. Hal ini didukung oleh referensi penulis dari berbagai penelitian yang ada sebelumnya. Penulis juga banyak menganalisis perbankan syariah dalam ranah perekonomian dan keuangan internasional. Melalui studi kasus, penulis banyak membimbing para pembaca untuk kritis dalam menanggapi suatu kasus, tentunya dengan dasar yang jelas. Yakni teori dan penelitian yang ada, sehingga hal ini makin menjadi nilai lebih dari buku ini. Walaupun buku ini merupakan buku terjemahan, namun penerjemah dan pihak penerbit di Indonesia juga menyajikan buku ini dengan bahasa yang enak untuk dicerna.
Seperti dipaparkan oleh penulis, buku Perbankan Syariah menghadirkan gambaran yang jelas mengenai seluk-beluk sistem yang digunakan untuk membangun sebuah perbankan melalui hukum Islam. Sejak perkembangannya pada pertengahan tahun 1970-an, terdapat sejumlah institusi keuangan di sekitar 70 negara yang kebanyakan terletak di belahan dunia Islam’. Ada dua cara yang digunakan dalam perkembangan perbankan Islam ini, yakni dengan dilakukannya restrukturisasi sistem finansial secara menyeluruh agar sesuai dengan aturan syariah, serta mendirikan berbagai lembaga keuangan Islam untuk bersaing dengan bank-bank konvensional.
Restrukturisasi sistem finansial secara tegas dan singkat dilakukan di Iran. Banyak bank-bank yang dinasionalisasikan dan direstrukturisasi ke dalam peraturan dan hukum negara. Iran membentuk banyak pasal mengenai sistem perbankan bagi seluruh bank yang ada di Iran untuk menjalankannya sesuai aturan dalam Undang-undang Perbankan Bebas Bunga yang disahkan pada Agustus 1983. Sistem yang dijalankan di Iran ini berbeda dengan sistem yang ada di Pakistan, dimana perbankan Islam berkembang secara bertahap semenjak kemerdekaan mereka.
Perbankan syariah lama-lama menjelma menjadi perbankan yang banyak diterapkan di berbagai negara. Bukan hanya di negara Islam saja, sistem perbankan ini dijalankan. Di beberapa negara Eropa dan Amerika mulai dikembangkan sistem perbankan yang awalnya banyak mendapat kecaman karena dianggap bersifat fundamentalisme. Pada dasarnya, hal yang membedakan sistem perbankan syariah dan perbankan moderen adalah gagasan prinsip keuangan pada bank-bank Islam yang berupa skema PLS (profit-and-loss-sharing).
Pada bank Islam, bunga ditiadakan. Namun, deposan diajak secara langsung untuk membangun hubungan kemitraan dengan bank. Mereka akan menjalankan usaha secara bersama sehingga jika terdapat keuntungan, maka hasil tersebut akan dibagi dan begitu pula jika terjadi kerugian, maka masing-masing akan menanggung kerugian yang ada. Ciri utama skema PLS ini adalah ketika bank mendorong para deposan menjadi pemegang saham. Hal ini terdapat dalam tiga sistem keuangan paling penting dalam perbankan syariah. Yakni Mudharabah, Musyarakah, dan Murabahah.
Pengusaha atau biasa disebut Mudharib, dalam sistem mudharabah memiliki peran ganda, sebagai wakil agen dan sekaligus menjadi mitra. Bagi-hasil keuntungan dan kerugian yang telah disepakati di awal perjanjian hanya memberikan wewenang bagi bank untuk mengawasi jalannya suatu proyek jangka pendek. Disini pemodal atau bank tidak akan bertanggungjawab atas kerugian di luar modal yang mereka percayakan. Ketika proyek tersebut mengalami kerugian, maka pihak bank hanya akan kehilangan modalnya, sedangkan mudharib menanggung kerugian dengan tidak mendapat hasil. Sistem mudharabah memang sangat sederhana, akan tetapi tetap merupakan sistem paling mendasar dalam prinsip keuangan Islam.
Dengan tujuan ingin menyebarkan pemilikan sumber daya produktif masyarakt, serta mengubah distribusi hasil produksi antara tenaga kerja dan modal,perbankan syariah melalui sistem musyarakah menawarkan kerjasama yang lebih mendalam antara deposan dan bank. Kali ini, proyek yang dikerjakan biasanya berupa proyek jangka panjang dimana bank ikut serta dalam usaha tersebut di bawah kontrak PLS. Kedua belah pihak akan memiliki saham yang besarnya dinilai dari besarnya modal. Keuntungan dan kerugianpun telah ditetapkan sebelum suatu proyek dijalankan. Dalam sistem musyarakah, Bank banyak berperan dalam bagian manajerial. Selain itu, sistem-sistem lain dalam perbankan syariah juga diulas secara tuntas dalam buku ini.
Akan tetapi di beberapa bagian, terlihat bahwa penulis sangat membahas perbankan syariah dari sudut pandang Islam. Yang dimaksud disini adalah ketika penulis beberapa kali mengunggulkan Islam dan tanpa sengaja sedikit menyudutkan agama lain. Padahal buku ini merupakan buku yang dapat dibaca oleh semua kalangan, tanpa memandang apakah mereka seorang ekonom, pejabat pemerintah, peneliti, mahasiswa ataupun masyarakat umum apalagi membaginya menurut perbedaan agama. Namun sangat disayangkan beberapa kalimat yang disuguhkan di dalamnya tanpa sengaja menyudutkan agama yang lainnya.
Selain itu, beberapa kali ditemukan kesalahan pengetikan dalam penyajian buku ini. Maka, sangat diharapkan setiap kali sebuah buku disusun dan akan diterbitkan, para penulis serta editor maupun penerjemah dapat mengecek kembali beberapa kali, sehingga pembaca dapat menikmati sebuah buku dengan sempurna.

Resensi oleh :  Widi Hidayati / NIP.14225 - KBI Banda Aceh  ~  Pemenang I, Subyek Buku Perbankan 

Sumber :http://www.bi.go.id/web/id/Tentang+BI/Perpustakaan/Buku/Koleksi+Buku/default.aspx?BookID=0000184101

Rasulullah SAW Negarawan yang Ekonomis

قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: (إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِين). 26)  (Q.S. Al-Qashash (28):
وَقَالَ رَسُوْلُهُ الْمُصْطَفَى r: (مَا عَالَ مَنِ اْقَتَصَدَ).)[1](
dakwatuna.com - Tidak semua ahli ekonomi punya perilaku ekonomi yang tepat dan benar, tidak semua yang ekonomis tersentuh oleh keadaan masyarakat miskin yang memprihatinkan. Tetapi Rasulullah Saw negarawan yang mempraktekkan perilaku ekonomi keseharian yang cemerlang, pemimpin negara yang cepat terkontaminasi dengan masalah-masalah masyarakat miskin yang memilukan, pemerhati sosial yang menyesuaikan diri dengan lingkungan menengah ke bawah, tidak hidup foya-foya di tengah penderitaan mereka, menolak keinginan sebagian sahabat yang ingin melihat dirinya hidup sejajar dengan seorang raja atau kaisar, bahkan menolak harta dan tahta yang ditawarkan orang-orang kafir Mekah demi mengurung niatnya mendakwahkan syariat Islam yang menegaskan persamaan derajat manusia selaku hamba di sisi Allah SWT.([2])
Di antara Keteladanan ekonomis yang hidup menghias biografi beliau, kisah Fatimah RA yang mendatangi Rasulullah Saw, sementara di lehernya melingkar kalung emas. Dia ditegur dengan nada keras yang mengingatkan keurgensian kepedulian sosial di tengah masyarakat yang serba kekurangan, beliau bersabda: “wahai Fatimah, apa kata orang-orang: Fatimah binti Muhammad Saw, di tangannya ada rantai api.” Ia pun keluar dan tidak menemaninya duduk seperti biasa. Fatimah RA yang sangat mengerti perasaan Rasulullah langsung menjual kalung emas tersebut, dan harganya dipakai membeli hamba yang kemudian dimerdekakan. Rasulullah Saw pun gembira mendengarnya dan bertakbir, kemudian berkata: “Alhamdulillah yang telah menyelamatkan Fatimah dari api neraka.”([3])
Praktek ekonomi Rasulullah Saw bukan karbitan atau kopian masyarakat Madinah yang heterogen, tetapi hasil tempaan sejak dini. Ekonomi mandiri dibangun dari hasil jerih payah yang halal, bukan dari praktek dagang atau bisnis yang tidak sehat. Berkat takdir dan tadbir Allah SWT, sesi kehidupan Rasulullah Saw di Mekah menayangkan kegigihannya berjuang mencari nafkah sebagai penggembala kambing dan pedagang yang dipekerjakan oleh Sayyidah Khadijah RA, istri pertama Rasulullah Saw sendiri di kemudian hari.([4]) Di sesi ini, dia menanamkan nilai ekonomi, arti sebuah keberhasilan hidup yang didasari oleh kekuatan fisik, cara berpikir maju, amanah, dan benar dalam setiap perilaku, seperti yang ditegaskan kilauan makna ayat di atas.
Mekah, kota kelahiran Rasulullah Saw, tercatat sebagai kota bisnis terbesar di daratan Arab, selain itu, ia juga kota suci mereka. Orang-orang Quraisy Mekah memiliki dua rute perjalanan bisnis: pertama ke Yaman di musim dingin, karena kota ini sendiri cukup hangat pada musim itu, dan kedua ke Syam di musim panas. Setelah hasyim bin Abdu Manaf, yang dituakan di masyarakat Quraisy, datang, ia pun menghidupkan salah satu tipe kepedulian ekonomi dan keseimbangan sosial yang berusaha menekan jarak sosial antara yang kaya dan miskin sehingga tidak terjadi sebuah ketimpangan sosial yang melahirkan kedengkian dan kebencian. Rasulullah Saw menyaksikan semua itu. Di kunjungan bisnisnya sebagai salah satu orang kepercayaan Sayyidah Khadijah RA, ia memperagakan praktek dagang yang luar biasa. Harga barang didasari tingkat beli konsumen. Jika yang menawar dari fakir-miskin, harga pun diturunkan sehingga terjangkau oleh tingkat beli mereka, jika pembeli dari strata sosial menengah ke atas, harga pun dinaikkan sesuai daya beli mereka. Ternyata, tipe bisnis seperti ini mendatangkan laba yang berlipat ganda. Faktor inilah yang menjadi salah satu daya tarik maknawi Rasulullah Saw yang menyebabkan Sayyidah Khadijah RA menginginkan dirinya sebagai suami.
Yang diyakini juga, Rasulullah Saw pada masa ini telah menyaksikan praktek-praktek dagang yang merugikan dan mengancam dinamika sosial masyarakat yang didasari oleh kepedulian dan keseimbangan sosial. Olehnya itu, hadits-hadits Rasulullah Saw di Madinah, fase kedua kehidupan Rasulullah Saw, kaya dan sarat dengan pesan-pesan ekonomi yang meneladankan praktek bisnis yang sehat dan halal. Di antara kekayaan makna tersebut, hadits yang mengharamkan riba dan praktek-prakteknya. Olehnya itu, riba yang pertama dijatuhkan dalam sejarah bisnis Islam, riba pamannya, Abbas bin Abdul Muttalib, dan yang berhak dimilikinya hanyalah modal pokok saja.([5]) Kebijakan ekonomi ini disampaikan di Haji Wadha’. Tentunya, sentuhan kebijakan ini diterima terbuka secara luas oleh masyarakat Islam pada saat itu. Yang demikian itu karena jangkauan penerapan kebijakan ini terlebih dahulu menyentuh keluarga terdekatnya sebelum orang lain. Kebijakan seperti ini bukan hal asing sesuai dengan dialektika penerapan syariat Al-Quran yang terlebih dahulu diamini dan dilakukan oleh keluarga Rasulullah Saw dan kerabatnya sebelum orang lain.
Di samping itu, kebijakan ekonomi Rasulullah Saw mampu menciptakan kemajuan ekonomi yang mapan, tidak menggantungkan diri dari orang-orang Yahudi yang tercatat sebagai pengunjung pasar yang tahu banyak praktek-praktek ekonomi yang sakit. Olehnya itu, langkah pertama yang diambil Rasulullah Saw dalam hal ini membangun pasar sebagai sarana umum kedua setelah masjid. Pasar tersebut menjadi wadah jual beli yang memungkinkan umat Islam di Madinah meninggalkan pasar Bani Qaenaqâ’ di salah satu perkampungan Yahudi dan tidak mengunjunginya lagi untuk selama-lamanya yang memamerkan bentuk jual-beli terlarang, seperti: riba, judi, tipu, dan timbun barang.([6]) Tujuan lain pasar islami Rasulullah Saw tersebut antara lain:
  1. Menyucikan harta muslim dari kotoran tipe-tipe muamalah Yahudi yang zhalim. Ini yang di kemudian hari dikenal sebagai infrastruktur ekonomi yang paling mendasar.
  2. Menyucikan jual beli umat Islam dari pajak, sogokan, dan setoran-setoran yang tidak memperhatikan kaedah-kaedah muamalah pasar dan bisnis Islam. Yang demikian itu dapat menyebabkan kenaikan harga terhadap komoditi pasar yang diperjualbelikan. Olehnya itu, Rasulullah Saw mengharamkan pungutan bayaran tanpa alasan yang jelas.
  3. Rasulullah Saw ingin membuktikan keuniversalan Islam sebagai agama rahmat untuk seantero alam. Dia bukan hanya agama ibadah, tetapi agama yang mementingkan ekonomi umat.
  4. Pasar Islam pertama tersebut merupakan elemen penting dari terbentuknya kekuatan ekonomi yang mampu menjaga dan melestarikan harta umat.
  5. Umat Islam wajib menciptakan kesatuan ekonomi yang dipelopori negara-negara Islam dalam mengambil kebijakan-kebijakan ekonomi dalam mengatur penggunaan dan pemberdayaan sumber-sumber alam sehingga tidak dieksploitasi oleh pihak-pihak asing yang merugikan.
Kebijakan ekonomi Rasulullah Saw yang tidak kalah penting, menciptakan jalinan persaudaraan antara kaum Muhajirin Mekah dan kaum Anshar Madinah. Di antara bentuk kepedulian kaum Anshar Madinah yang menyambut baik kedatangan saudara mereka yang hijrah, keinginan mereka untuk merangkul saudara mereka menikmati harta, tanah, dan rumah dengan berbagi dua. Meskipun kaum Muhajirin mensyukuri niat baik tersebut, tetapi mereka lebih memilih bekerja dan menghidupi diri mereka sendiri dengan membuka lapangan pekerjaan baru, khususnya berdagang yang merupakan keahlian mayoritas dari mereka.([7]) Jalinan persaudaraan ini tafsiran hidup dan aplikasi nyata hadits-hadits berikut yang diberkati Q.S. Al-Hasyr (59): 9 yang memuji mereka:
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ r: (الْمُسْلِمُونَ تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ يَسْعَى بِذِمَّتِهِمْ أَدْنَاهُمْ، وَيُجِيرُ عَلَيْهِمْ أَقْصَاهُمْ، وَهُمْ يَدٌ عَلَى مَنْ سِوَاهُمْ، يَرُدُّ مُشِدُّهُمْ عَلَى مُضْعِفِهِمْ وَمُتَسَرِّعُهُمْ عَلَى قَاعِدِهِمْ، لاَ يُقْتَلُ مُؤْمِنٌ بِكَافِرٍ وَلاَ ذُو عَهْدٍ فِى عَهْدِهِ (.)[8](
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ t، قَالَ: قَالَ رُسُولُ اللَّهِ r: (مَنْ كَانَ مَعَهُ فَضْلُ ظَهْرٍ ، فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لا ظَهْرَ لَهُ، وَمَنْ كَانَ لَهُ فَضْلُ زَادٍ، فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لا زَادَ لَهُ، قَالَ: فَذَكَرَ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ مَا ذَكَرَ حَتَّى رَأَيْنَا أَنَّهُ لا حَقَّ لأَحَدٍ مِنَّا فِي فَضْلٍ).)[9](
(وَالَّذِينَ تَبَوَّؤُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ).
Kebijakan ekonomi berikutnya yang ikut menyempurnakan sistem ekonomi umat di Madinah, anjuran Rasulullah Saw memakmurkan bumi dengan menggarap dan mengolah tanah mati. Panggilan kenabian ini awal dari pengelolaan lahan pertanian yang cukup luas. Olehnya itu, seruan ini dipagar dengan kebijakan lain yang memberikan hak kepemilikan kepada siapa saja yang telah menghidupkan tanah mati.
عَنْ سَعِيدِ بْنِ زَيْدٍ عَنِ النَّبِىِّ r قَالَ: (مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَةً فَهِىَ لَهُ وَلَيْسَ لِعِرْقٍ ظَالِمٍ حَقٌّ).)[10](
Langkah maju ini wajib diikuti secara luas pemerintah-pemerintah negara Islam dengan memudahkan hijrah bagi penduduk wilayah-wilayah padat, sempit, dan macet ke daerah-daerah transmigrasi yang menunggu uluran tangan untuk menghidupkan lahan-lahan matinya.
Di samping itu, Rasulullah Saw memerintahkan pembukuan utang-piutang seperti yang disuarakan Q.S. Al-Baqarah (2): 282 supaya kedua belah pihak terhindar dari buruk sangka jika terjadi salah paham di antara mereka. Saling memercayai wajib mendasari setiap kontrak bisnis, tetapi itu tidak cukup, kesepakatan tersebut sepatutnya dipagari dengan catatan cek demi menjaga kepercayaan mitra bisnis. Dia pun berhasil mengakhiri monopoli dagang dan profesi bisnis Yahudi yang menguasai pasar Bani Qaenaqa’ di Madinah. Yang demikian itu karena keberhasilan ekonomi masyarakat dilihat dari pemerataan distribusi profesi bisnis di kalangan para pelaku bisnis pasar. Sementara itu, monopoli profesi bisnis memberi kesempatan sebagian pihak menentukan harga sesuai dengan keinginan mereka dan penimbunan barang yang merugikan konsumen, bahkan bisa memicu iri hati dan hasut masyarakat menengah ke bawah terhadap mereka sehingga terjadi revolusi berdarah di antara mereka, seperti yang pernah ditayangkan kehidupan masyarakat Eropa di saat buruh kerja mereka bangkit menuntut hak mereka yang direnggut zhalim oleh para pemilik properti.
Kebijakan ekonomi Rasulullah Saw yang dekat dengan di atas, kebijakannya menolak permintaan sebagian sahabat yang merasa dirugikan pihak pembeli untuk meletakkan harga terhadap komoditi pasar (التّسْعِيْر). Yang demikian itu karena jual-beli islami didasari ridha para pelaku bisnis; penjual dan pembeli. Jika Rasulullah Saw menentukan harga komoditi pasar hanya karena mengikuti keinginan pembeli, tentunya penjual merasa dizhalimi. Sementara itu, kepala pemerintah (Rasulullah Saw dalam hal ini) wajib memberikan kebijakan menguntungkan dan pelayanan yang sama terhadap semua elemen masyarakat, khususnya masyarakat pasar. Di lain sisi, penentuan harga barang menyebabkan para penjual hijrah mencari pasar-pasar alternatif, sehingga dengan sendirinya harga barang naik karena terjadi loncatan permintaan dari pihak konsumen, sementara komoditi pasar yang diperjualbelikan berkurang seiring dengan hijrahnya para pemilik barang ke tempat lain. Kesadaran ekonomi ini dapat Anda temukan di hadits-hadits berikut:
عَن أَبِيْ سَعِيْدِ الْخُدْرِيّ رt أَن رَسُولَ اللهِ r َ قَالَ: (إِنَّمَا البيع عَن ترَاضٍ).)[11](
عَنْ أَبِي حُرَّةَ الرَّقَاشِيِّ عَنْ عَمِّه عَن رَسُول الله r : (لاَ يَحِلُّ لاِمْرِئٍ مِن مَالِ أَخِيهِ شَيْء إِلَّا بِطيب نَفْس مِنْهُ).)[12](
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ النَّاسُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، غَلاَ السِّعْرُ فَسَعِّرْ لَنَا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ r: (إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّازِقُ، وَإِنِّى لأَرْجُو أَنْ أَلْقَى اللَّهَ وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ يُطَالِبُنِى بِمَظْلَمَةٍ فِى دَمٍ وَلاَ مَالٍ).)[13](
Selain itu, Rasulullah Saw menganjurkan efisiensi dan hemat dalam menggunakan sumber daya alam. Bukankah hemat pangkal kaya, seperti penegasan hadits kedua di atas? Sumber daya alam yang tidak dikelola dengan efisien akan terkuras perlahan-lahan dan habis meski ia mengalir seperti air pancuran yang deras. Ini ditegaskan sendiri hadits Rasulullah saw yang menganjurkan efisiensi penggunaan air meski Anda dibanjiri air.
عَنِ ابْنِ عُمَر t: (أَنَّ النَّبِيَّ r مَرَّ بِسَعْدٍ وَهُوَ يَتَوَضَّأُ فَقَالَ: مَا هَذَا السَّرَفُ؟ قَالَ: أَفِي الْوُضُوءِ إسْرَافٌ؟ قَالَ: نَعَمْ، وَإِنْ كُنْت عَلَى نَهْرٍ جَارٍ).([14])
Boros menggunakan sumber daya alam menjanjikan kemiskinan dan kemalangan nasib yang berkepanjangan. Olehnya itu, sejak dini Rasulullah Saw mengingatkan umat keurgensian hemat demi menjaga berkah Allah SWT dalam mengelola kekayaan alam. Ustadz Said Nursi yang mengikuti keteladanan Rasulullah Saw dalam menghidupkan sifat baik tersebut mencoba memberikan contoh perbandingan antara yang menghidupkan praktek ekomomis yang efisien dengan yang mengabaikannya, beliau berkata:
Kenikmatan yang tengah dirasakan si miskin dari sepotong roti kering lagi berjamur hanya karena lebih mengedepankan sifat ekonomis dapat melebihi cita rasa sang penguasa atau orang kaya yang sedang mencicipi manisan dengan penuh kebosanan dan selera makan yang berkurang akibat keborosan. Dan yang patut dicengangkan, keberanian sebagian pihak yang mengabaikan praktek ekonomis untuk melancarkan tuduhan hina yang tidak beralasan kepada mereka yang hemat. Sementara di lain pihak, hemat adalah kemuliaan dan kebersahajaan, sedangkan kehinaan dan kemalangan adalah hasil dari praktek boros yang tengah dijalankan.“([15])
Olehnya itu, kesadaran berperilaku ekonomi secara luas wajib disosialisasikan secara terpadu yang digerakkan oleh pemerintah-pemerintah negara Islam bersama masyarakat dunia Islam sehingga tercipta ekonomi Islam yang bebas dan suci dari praktek-praktek ekonomi kotor. boros bukan hanya terbatas pada penggunaan sumber daya alam secara berlebihan, tetapi lebih dari itu, boros dapat juga dimaknai dengan hilangnya kepedulian sosial dan ekonomi melihat kezhaliman tangan-tangan jahil yang merampas hak-hak orang miskin, tidak bangkit menghentikan praktek riba dan kecurangan di pasar dengan menambah dan mengurangi takaran. Kondisi memprihatinkan inilah sebab utama bencana dan musibah yang tidak kunjung berhenti merenggut korban jiwa dan kerugian harta yang tidak terkira. Seandainya bumi ini tidak dihuni oleh makhluk Allah SWT selain dari manusia, langit tidak akan pernah kelihatan mendung memberi curah hujan, seperti yang diperingatkan Rasulullah Saw di bawah ini:
عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِى رَبَاحٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: (أَقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ r فَقَالَ: يَا مَعْشَرَ الْمُهَاجِرِينَ، خَمْسٌ إِذَا ابْتُلِيتُمْ بِهِنَّ، وَأَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ تُدْرِكُوهُنَّ، لَمْ تَظْهَرِ الْفَاحِشَةُ فِى قَوْمٍ قَطُّ حَتَّى يُعْلِنُوا بِهَا إِلاَّ فَشَا فِيهِمُ الطَّاعُونُ وَالأَوْجَاعُ الَّتِى لَمْ تَكُنْ مَضَتْ فِى أَسْلاَفِهِمُ الِّذِينَ مَضَوْا. وَلَمْ يَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ إِلاَّ أُخِذُوا بِالسِّنِينَ وَشِدَّةِ الْمَؤُنَةِ وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عَلَيْهِمْ، وَلَمْ يَمْنَعُوا زَكَاةَ أَمْوَالِهِمْ إِلاَّ مُنِعُوا الْقَطْرَ مِنَ السَّمَاءِ، وَلَوْلاَ الْبَهَائِمُ لَمْ يُمْطَرُوا وَلَمْ يَنْقُضُوا عَهْدَ اللَّهِ وَعَهْدَ رَسُولِهِ إِلاَّ سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ عَدُوًّا مِنْ غَيْرِهِمْ فَأَخَذُوا بَعْضَ مَا فِى أَيْدِيهِمْ. وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ وَيَتَخَيَّرُوا مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلاَّ جَعَلَ اللَّهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ).([16])
Kepedulian ekonomi Rasulullah Saw ini tidak melupakan makna-makna kehidupan, tetapi material ekonomi Islam senantiasa dikaitkan dengan arti-arti maknawi kehidupan yang menyegarkan. Harta dan ekonomi mapan bukanlah tujuan utama kehidupan dan standar kejayaan, tetapi ia tidak lain kecuali wasilah yang menjembatani manusia memperoleh keridhaan Allah SWT. Olehnya itu, Rasulullah Saw sering kali ditemukan berjalan-jalan di pasar mengingatkan mereka jual beli yang diharamkan Islam dengan membaca ayat ini: (وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِيْنَ). Mereka pun sadar dan mengikuti tuntunan ayat itu demi lahirnya jual beli yang halal dan sehat. Bukan hanya itu, makna lain yang dikaitkan dengan material ekonomi Islam, hakikat makna orang-orang yang merugi. Bagi Islam sendiri, yang benar-benar rugi bukan yang tidak punya uang, tetapi yang rugi mereka yang tidak menuai ibadahnya di dunia dari shalat, zakat, dan seterusnya. Yang demikian itu karena lidah dan tangan mereka penuh dengan kotoran-kotoran kezhaliman yang suka melukai perasaan orang lain dengan cacian, ghibah, namimah, dan tindak kekerasan yang mengancam nyawa. Hakikat maknawi ini terhias indah di hadits Rasulullah Saw berikut ini:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ r قَالَ: (أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِس؟ قَالُوا: الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ. فَقَالَ: إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِى يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِى قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ، فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِى النَّارِ ).([17])
Di samping itu, bagi Islam sendiri, kaya hati salah satu kekayaan maknawi yang lebih penting dari kaya harta. Yang miskin hati selalu merasa kekurangan dan gelisah memikirkan siang malam kekayaannya dan takut kehilangan segala-galanya. Tetapi yang kaya hati selalu ingin menafkahkan hartanya di jalan Allah SWT, hatinya damai, tidak terfitnah oleh hartanya sendiri sehingga melupakan ibadah, tetapi ia menjadikan harta tersebut jembatan maknawi meniti ridha Allah SWT di jalan-jalan kebaikan. Hakikat makna ini disebutkan jelas hadits berikut ini:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ t قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ r: (لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ).([18])
Yah, kelaparan, kefakiran, dan kemiskinan wabah sosial yang sangat ditakuti Rasulullah Saw. Tetapi, ia pun menakuti keindahan-keindahan dunia yang membuai menjadi bunga-bunga kehidupan yang dapat menjerumuskan umat ke jurang kehancuran. Fitnah harta, wanita, dan tahta sungguh sangat ditakuti Rasulullah Saw. Ketakutan ini bukanlah pepesan kosong, tetapi nyata terbukti di kehidupan sehari-hari. Saling menyikut, menyingkirkan, menodai, bahkan membunuh lahir dari ketamakan hawa nafsu yang ingin menggenggam fitnah-fitnah dunia itu meski harus melukai sesama. Kekhawatiran ini ditumpahkan Rasulullah Saw di sabdanya berikut ini:
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ t أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ r قَالَ :أَخْوَفُ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ مَا يُخْرِجُ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ زَهْرَةِ الدُّنْيَا. قَالُوا: وَمَا زَهْرَةُ الدُّنْيَا يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: بَرَكَاتُ الأَرْضِ. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَهَلْ يَأْتِى الْخَيْرُ بِالشَّرِّ ؟ قَالَ: لاَ يَأْتِى الْخَيْرُ إِلاَّ بِالْخَيْرِ ،لاَ يَأْتِى الْخَيْرُ إِلاَّ بِالْخَيْرِ ،لاَ يَأْتِى الْخَيْرُ إِلاَّ بِالْخَيْرِ . إِنَّ كُلَّ مَا أَنْبَتَ الرَّبِيعُ يَقْتُلُ أَوْ يُلِمُّ إِلاَّ آكِلَةَ الْخَضِرِ فَإِنَّهَا تَأْكُلُ حَتَّى إِذَا امْتَدَّتْ خَاصِرَتَاهَا اسْتَقْبَلَتِ الشَّمْسَ ثُمَّ اجْتَرَّتْ وَبَالَتْ وَثَلَطَتْ ثُمَّ عَادَتْ فَأَكَلَتْ. إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ فَمَنْ أَخَذَهُ بِحَقِّهِ وَوَضَعَهُ فِى حَقِّهِ فَنِعْمَ الْمَعُونَةُ هُوَ، وَمَنْ أَخَذَهُ بِغَيْرِ حَقِّهِ كَانَ كَالَّذِى يَأْكُلُ وَلاَ يَشْبَعُ).([19])
Di penghujung tulisan ini, saya mengajak para pecinta ekonomi Islam menyuarakan kesimpulan berikut:
“Islam bukan hanya agama ibadah, tetapi agama yang peduli terhadap keselamatan ekonomi umat dari praktek-praktek bisnis yang kotor. Harta dan kejayaan bisnis bukanlah tujuan utama, tetapi ia ditempatkan sebagi jembatan maknawi meniti ridha Allah SWT. Rasulullah Saw negarawan yang telah mencontohkan perilaku ekonomi sehat, peduli derita masyarakat miskin, memompa semangat ekonomi Islam untuk mengambil alih tali kekang perekonomian dari tangan Yahudi yang dipenuhi dengan kecurangan-kecurangan yang merugikan. Dia selalu mengaitkan material ekonomi dengan makna-makna kehidupan sehingga semangat beragama umat tetap hidup terpatri di tengah pengaruh-pengaruh materi yang membutakan. Yang paling menakutkan dari sebuah kejayaan ekonomi adalah fitnah dunia dan ini pun disadari Rasulullah Saw sebagai ancaman berbahaya yang dapat melahap semua berkah bumi yang telah diraih. Olehnya itu, pesan-pesan maknawinya terlebih dahulu mengingatkan umat terhadap ketakutan tersebut. Hematnya, Jika Rasulullah Saw ingin disejajarkan dengan para reformer dan revolusioner  ekonomi, ia berada di garda depan yang tidak tertandingi. Ini yang diyakini penulis, dan semoga itu juga yang diyakini para pemerhati ekonomi Islam.”
Catatan Kaki:
([1])   Hadits riwayat Sunan Imam Ahmad dan Imam at-Tabrâni di al-Mu’jam al-Kabîr dan Mu’jam al-Awsat. Ibrâhîm bin Muslim al-Hajarî, salah satu perawi hadits ini terhitung lemah periwayatannya oleh ahli hadits. Lihat: Majma’ az-Zawâid wa Manba’ al-Fawâid, hadits, no: 17848, hlm. 443
([2])   Lihat: Syekh Shafiyyu ar-Rahmân al-Mubarkafuri, ar-Rahîq al-makhtûm, Dar Ibn Khaldun, hlm. 69
([3])   Hadits riwayat Tsawbân Mawla Rasulullah Saw di Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, hadits. no: 22398, vol. 37, hlm. 83-84
Para pentahkik musnad ini berkata: “perawi-perawi hadits ini semuanya terpercaya, akan tetapi ada perbedaan terhadap yahya bin Abi Katsir, apakah ia mendengar hadits itu dari Zaid bin Sallam atau tidak? Yang paling kuat, sebuah kitab yang diambil Yahya dari Muawiyah bin Salam, saudara Zaid, dan di riwayat ini dinyatakan secara jelas bahwa Yahya mendengar langsung dari Zaid. Sementara itu, imam an-Nasai melihat bahwa Zaid bin Salam memberikan izin kepada Yahya bin Abi Katsir untuk meriwayatkan haditsnya, dan izinnya ini diketahui saudaranya, Muawiyah, sehingga Yahya dengan izin itu meriwayatkan haditsnya dengan lafadzh: (حَدَّثَنَا), sementara itu, baiknya jika ia mengatakan: (إِجَازَة), artinya, periwayatan yang didasari oleh izin sebelumnya.“
([4])   Lihat: Ibn Ishaq, as-Sirah an-Nabawiyyah, hlm. 128
([5])   Shahih Imam Muslim, kitab al-haj, bab hujjah an-nabi, hadits no: 3009.
([6])   Ahmad Ibrahim Syarif, Makkah wa al-madinah fil jahiliyah wa ahd ar-Rasul Saw, Darul fikri al-arabi, vol. 1, hlm. 299
([7])   Lihat: Syekh Shafiyyu ar-Rahmân al-Mubarkafuri, Op. Cit, hlm. 144
([8])   Hadits riwayat Sunan Imam Abi Daud, kitab jihad, bab fi as-sariyyah taruddu ala ahli al-askar, hadits no: 2753
([9])   Hadits riwayat Shahih Imam Muslim, kitab al-laqatah, bab istihbâb al-muâsah bi fudulil mâl, hadits no: 4614
([10]) Hadits riwayat Sunan Imam Abi Daud, kitab al-Kharâj, bab fi ihyail mawât, hadits no: 3075
([11]) Hadits shahih Sunan Imam Ibn Majah, kitab at-tijarah, bab bae al-khiyar, hadits. No: 2185
([12]) Hadits shahih li gairihi Musnad Imam Hanbal, hadits. No: 20695, vol. 34, hlm. 299
([13]) Hadits shahih Sunan Imam Abi Daud, kitab at-tijarah, bab fi at-tas’ir, hadits. No: 3453
([14])                 Hadits riwayat Imam Ibn Majah dan yang lain. Sanad hadits ini lemah karena diantara perawi-perawinya ada yang lemah, seperti: Huyaei bin Abdillah dan Ibn Luhaeah. Lihat: Syekh al-Hasan bin Ahmad ar-Ruba’i, Fathul Gaffâr al-Jâmi’ li Ahkâmi Sunnati Nabiyyina al-mukhtâr, kitab at-Tharah, hadits. No: 312, hlm. 109
([15]) Said Nursi, al-lama’ât, hlm. 217
([16]) Jâmi al-hadits, hadits no: 26326
([17]) Hadits riwayat Shahih Imam Ibn Hibbân, kitab al-hudud, bab az-zina wahdah, hadits no: 4411
([18]) Muttafaq alaih, di Shahih Imam Muslim, kitab zakat, bab laesa al-gina an-kasrah al-arad, hadits no: 2467
([19]) Shahih Imam Muslim, kitab zakat, bab takhawwuf ma yakhruj min zahrah ad-dunya, hadits no: 2469
Redaktur: Hendra Topik: ,
Keyword: , , ,

Kamis, 03 Oktober 2013

Pemberdayaan Zakat Untuk Kemajuan Ekonomi Umat

Depok, Jawa Barat. Alhamdulillah telah dilaksanakan seminar IAEI yang ke 11 di Kampus STEI SEBI. Menghadirkan 3 pembicara yaitu Irfan Syauqi Beik Phd., Endang Ahmad Yani dan Tomy Hendrajati, ketiga pembicara tersebut mengupas secara tuntas zakat dikaitkan dari sisi keilmuan, praktek dan kelembagaan dari zakat yang telah berjalan dimasyarakat. Acara tersebut di buka oleh Tim Nasyid dari STEI SEBI dengan Keynote Specch oleh Bapak Drs. Agustianto M.Ag (Ketua 1 Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI))
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Peneliti STEI SEBI yaitu Endang Ahmad Yani mendeskripsikan bahwa BAZ dan LAZ belum mendapatkan kepercayaan publik. Bahkan pada beberapa daerah PNS sendiri masih enggan membayar Zakat melalui BAZ. Minimnya pengetahuan masyarakat terhadap fiqih Zakat.  Hal utama yang mengakibatkan Zakat nilainya menjadi kecil dibanding potensinya karena pemahaman masyarakat yang salah. Misalkan ketika sudah membayar Zakat fitrah maka Zakat harta dan Zakat profesi tidak perlu lagi dibayar dan Masyarakat masih memandang bahwa membayar Zakat secara langsung ke mustahiq lebih baik.
Kaitannya dengan itu PKPU sebagai salah satu NGO di Indonesia yang memiliki program pengembangan masyarakat menengah kebawah, dan program yang pernah dilakukan diantarannya, Pengembangan Desa Muncang Menjadi Sentra Produksi Pisang Ambon, Peningkatan jumlah penerima manfaat dari 30 orang pada awal program menjadi 50 orang, pengembangan jaringan marketing bagi pemasaran produk pertanian masyarakat, pendirian kelompok tani “Waluya” yang berperan sebagai sarana dan keberlanjutan program terkait sistem produksi dan marketing setelah program berakhir, dan Penggalian potensi masyarakat melalui kerjasama antara masyarakat, LSM (PKPU) dan akademisi (IPB).
PKPU juga mengaharapkan pelaksanaan program dapat terus didukung melalui pengembangan dari sektor zakat. Potensi Zakat Nasional pada tahun 2012 adalah 3,4 % PDB atau sebesar Rp. 217 Triliun. Proyeksi lima tahun BAZNAS selama 5 tahun kedepan diharapkan juga terus meningkat melalui proyeksi Fondasi, Konsolidasi, pertumbuhan, percepatan dan pemantapan.
Kesimpulannya singkronisasi dalam terhadap perdayaan zakat dalam pengembangan ekonomi umat perlu dilaksanakan dengan baik dan perubahan dalam sikap untuk membayar zakat perlu digencarkan lagi. Acara tersebut dihadiri oleh akademisi, praktisi BUMN dan Kementrian Keuangan RI.

Sumber :  http://www.iaei-pusat.org/article/ekonomi-syariah/pemberdayaan-zakat-untuk-kemajuan-ekonomi-umat

Zakat Untuk Pemerataan Kesejahteraan: Potensi Yang Belum Optimal untuk ekonomi kalangan Masyarakat


Penerapan sistem ekonomi terkait perbankan dan keuangan berdasarkan syariah telah  berkembang secara signifikan khususnya di Malaysia dan Indonesia yang menandai kebangkitan sistem ekonomi yang bersandarkan pada nilai-nilai Islam. Hanya saja kegiatan perbankan dan keuangan syariah ini masih belum sepenuhnya terlepas dari pengaruh sistem ekonomi konvensional (baca: ekonomi liberal) yang telah bercokol cukup lama di negeri ini. Oleh karena itu diperlukan kemauan dan tekad kuat untuk memurnikan kegiatan ekonomi Islam dari unsur-unsur yang bertentangan dan berlawanan dengan prinsip ajaran Islam (Al Quran dan Hadist).
Ekonomi Islam memang tidak memiliki sejumlah teori khusus dan rinci yang menerangkan ilmu (sains) ekonomi sebagaimana ekonomi kapitalistik ditata dan disebarluaskan. Namun, ekonomi Islam mempunyai konsep normatif seperti mengenai larangan riba, hal kepemilikan harta dan pekerjaan, penguasaan barang atas hajat hidup orang banyak (public goods) serta jaminan dan solidaritas sosial (pengentasan kemiskinan) melalui pemberdayaan konsep zakat. Pada masa Rasulullah prinsip-prinsip Islam tentang kehidupan bermasyarakat dijalankan secara sempurna dan bermanfaat sehingga menarik perhatian banyak kalangan yang belum mengerti ajaran Islam. Maka tak heran jika  perkembangan agama Islam menjadi begitu meluas menembus batas jazirah Arab.
EKONOMI ISLAM
Pada dasarnya Ekonomi Islam yang merupakan sistem ekonomi syariah itu  berdiri tegak pada azas-azas kebersamaan dan keadilan dalam mencapai tujuan. Paling tidak terdapat empat prinsip yang melandasi praktik ekonomi Islam.
Pertama, anjuran membelanjakan harta di jalan Allah semaksimal mungkin guna tercapainya keadilan dan kesejahteraan sosial. Malalui prinsip ini kemudian terejawantahkan konsep zakat, sedekah, infak, wakaf dan sebagainya. Pada dasarnya  Islam tidak mentolerir terjadinya kesenjangan mencolok antara kaum the have dengan kalangan the have not.
Kedua, larangan untuk melakukan riba. Para ulama memang terpecah pendapat dalam menyikapi apakah bunga bank termasuk riba? Namun demikian pada dasarnya mereka sama-sama sepakat bahwa apabila ada dua orang melakukan transaksi (bisnis) tidak boleh ada salah seorang diperlakukan “kalah” sehingga muncul skema win-lose, salah seorang menderita kerugian dari pada yang lain. Sehingga muncul ketidak-adilan dalam menanggung resiko.
Lalu muncul prinsip ketiga, membagi resiko bersama (risk sharing). Jika suatu usaha yang dikelola bersama mengalami kerugian maka para pihak dapat menanggung resiko secara bersama-sama secara adil dan bijaksana, tidak boleh salah satu pihak merasa tidak puas karena didzholimi.
Terkait prinsip ketiga maka terdapat prinsip keempat yaitu melarang terjadinya eksploitasi dari satu manusia pada manusia lainnya. Artinya, salah satu pihak yang bersepakat untuk suatu usaha (bisnis) tidak boleh menjadi kaya sendiri sementara pihak lain dalam situasi menderita. Dalam konteks ini maka pembagian keuntungan yang berat sebelah dalam suatu kontrak karya (proyek bisnis) misalnya bisa disebut sebagai kontrak karya yang bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.
Prinsip kelima adalah larangan melakukan usaha yang bersifat spekulasi. Contoh kongkrit adalah judi. Setiap usaha telah ditelaah, direncanakan matang, tertata baik dan logis, lalu prediksi dan antisipasi dilakukan sesuai prinsip  rasionalitas bukan didasarkan perilaku spekulatif yang nir data dan informasi tidak akurat. Prinsip ini merupakan pengejawantahan manajemen modern. Namun manusia acapkali serakah dan amoral yang membuat prinsip diatas terabaikan.
Pada masa kejayaan Islam suasana kehidupan dan kesejahteraan masyarakat terperhatikan, prinsip keadilan ditegakkan, tauhid sosial juga dipraktikkan melalui kepedulian terhadap kaum papa dan lemah. Jaminan dan solidaritas sosial yang dibangun dari prinsip Islam yakni mengoptimalkan peran dan fungsi zakat mampu menjembatani kesenjangan si kaya dan si miskin Kegiatan praktik bisnis bersifat eksploitasi, curang dan serakah dicegah dan dilarang.
OPTIMALISASI ZAKAT UNTUK KESEJAHTERAAN
Sekarang ini negara-negara Islam hanya mampu menerapkan sebagian (terpisah-pisah) dari sistem ekonomi Islam seperti perbankan, pembiayaan dan asuransi sharia. Kenyataan bahwa paradigm yang sudah tersurat dan tersirat dalam ajaran Islam ini memang masih belum dioptimalkan oleh umat Islam itu sendiri karena kuatnya pengaruh ekonomi konvensional.
Salah satu instrumen untuk pemerataan kesejahteraan masyarakat dalam pandangan ekonomi Islam adalah zakat. Konsep zakat semestinya dapat diberdayakan untuk menjembatani kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin sehingga akan mampu mewujudkan keadilan sosial yang pada gilirannya kondusif bagi perkembangan iklim usaha. Sudahkan konsep ini diterapkan optimal?
Zakat belum dijadikan mainstream pengambilan kebijakan ekonomi pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan secara menyeluruh. Padahal potensi itu terbuka lebar dan hasil analisis menunjukkan bahwa persoalan kesenjangan kaya dan miskin tidak akan melebar bahkan mengecil asalkan kebijakan dan manajemen zakat secara komprehensif dibenahi dan diberdayakan oleh pemerintah (hasil penelitian Kholilah CIES UB Malang 2011). Penulis yakin pengentasan kemiskinan dapat teratasi dengan mengeluarkan kebijakan untuk mengintegrasikan zakat profesi dan pajak penghasilan. Sebagaimana di Malaysia, bentuk integrasinya dengan mensosialisasikan zakat sebagai pengurang  penghasilan kena pajak sesuai UU No. 2000 tentang Pajak Penghasilan. Jumlah zakat yang terkumpul tentu perlu diawasi penggunaannya, tidak boleh dipakai untuk pembangunan infrastruktur, sarana prasarana publik, karena pembayar zakat tidak boleh ikut menikmati hasil zakat. Hal ini karena zakat dalam Islam memang diperuntukkan untuk pengentasan kemiskinan alias pemerataan kesejahteraan. Selain dapat mengentaskan kemiskinan, apabila kebijakan ini diterapkan justru memungkinkan bertambahnya jumlah wajib pajak (WP) karena secara psikologis WP Muslim akan merasa diperlakukan adil dan banyak manfaat, sehingga mendorongnya bersikap jujur dalam membayar pajak. Bertambahnya WP berarti meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan.
Konsep zakat yang berfungsi untuk pemerataan kesejahteraan umat ini adalah bagian dari ekonomi Islam. Namun sayangnya masyarakat Muslim termasuk pemerintah tampak lebih sibuk dengan perbankan dan keuangan syariah semata. Sehingga tidak heran jika mencuat pertanyaan, bisakah ekonomi Islam memberikan sumbangan berarti bagi kesejahteraan rakyatnya di suatu Negara berdaulat yang mayoritas beragama Islam? Hal ini karena awam melihat ekonomi Islam masih sebatas perbankan dan keuangan yang dalam berbagai aspek operasional masih mirip dengan sistem ekonomi konvensional. Disisi lain kita masih terpaku dan hanya berkutat pada perbankan dan keuangan syariah semata, sementara zakat belum terperhatikan dengan baik dan sistematik.
- Sumber : http://fossei.org/2013/04/zakat-untuk-pemerataan-kesejahteraan-potensi-yang-belum-optimal/#sthash.0z2ZoHJI.dpuf

Pengaruh Zakat Terhadap Ekonomi

ZAKAT DAN PENGARUHNYA TERHADAP EKONOMI

Sebelum  memasuki pembahasan kita ada baiknya kita mengetahui apa itu zakat dan hukum melaksanakannya.
A.Definisi Zakat
Secara etimologi, zakat memiliki beberapa makna yang di antaranya adalah suci. “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu.” (QS. Asy-Syams: 9). Maksudnya adalah suci dan dosa dan kemaksiatan. Selain itu, zakat bisa bermakna tumbuh dan berkah. Secara syar’i, zakat adalah sedekah tertentu yang diwajibkan dalam syariah terhadap harta orang kaya dan diberikan kepada orang yang berhak menerimanya.
B. Hukum Zakat
            Allah mewajibkan zakat kepada setiap Muslim (lelaki dan perempuan) atas hartanya yang telah mencapai nishab. Zakat merupakan instrumen dalam mensucikan harta dengan membayarkan hak orang lain. Selain itu, zakat merupakan mediator  dalam mensucikan diri dan hati dari rasa kikir  dan cinta harta. Dan zakat merupakan instrument social untuk  kebutuhan dasar fakir dan miskin.
Allah Swt berfirman, “Ambillah zakat dan sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkannya dan mensucikan mereka…” (QS. At- Taubah: 103)
Zakat pertama kali diwajibkan, tidak ditentukan kadar dan jumlahnya, tetapi hanya diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan fakir dan miskin. Namun setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, diberlakukanlah beberapa ketentuan dan syarat yang harus dipenuhi dalam zakat.
Zakat merupakan salah satu rukun Islam, dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu) atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk dalam kategori ibadah (seperti shalat, haji, dan puasa) yang telah diatur secara rinci dan paten berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, sekaligus merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan.
 
C.Hikmah Zakat
           1. Hikmah Diniyah (Agama)
a)      Dengan berzakat berarti telah menjalankan salah satu dari rukun Islam yang menghantarkan seorang hamba kepada kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akhirat.
b)      Merupakan sarana bagi hamba untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Rabbnya, akan menambah keimanan karena keberadaannya yang memuat beberapa macam ketaatan.
c)      Pembayar zakat akan mendapatkan pahala besar yang berlipat ganda, sebagaimana firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala :

يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ

Artinya: “Alloh memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah” (QS: Al Baqarah: 276).
Dalam sebuah hadits yang muttafaq ‘alaih Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam juga menjelaskan bahwa shadaqah dari harta yang baik akan ditumbuhkan kembangkan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala berlipat ganda.
Zakat merupakan sarana penghapus dosa, seperti yang pernah disabdakan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam
2. Hikmah Khuluqiyah (Akhlah)
a)      Menanamkan sifat kemuliaan, rasa toleran dan kelapangan dada kepada pribadi pembayar zakat.
b)      Pembayar zakat biasanya identik dengan sifat rahmah (belas kasih) dan lembut kepada saudaranya yang tidak punya.
c)      Merupakan realita bahwa menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat baik berupa harta maupun raga bagi kaum muslimin akan melapangkan dada dan meluaskan jiwa. Sebab sudah pasti ia kan menjadi orang yang dicintai dan dihormati sesuai tingkat pengorbanannya.
d)     Di dalam zakat terdapat penyucian terhadap akhlak.
3. Hikmah Ijtimaiyyah (Sosial)
a)      Zakat merupakan sarana untuk membantu dalam memenuhi hajat hidup para fakir miskin yang merupakan kelompok mayoritas sebagian besar negara di dunia.
b)      Memberikan support kekuatan bagi kaum muslimin dan mengangkat eksistensi mereka.Ini bisa dilihat dalam kelompok penerima zakat, salah satunya adalah mujahidin fi sabilillah.
c)      Zakat bisa mengurangi kecemburuan sosial, dendam dan rasa dongkol yang ada dalam dada fakir miskin. Karena masyarakat bawah biasanya jika melihat mereka yang berkelas ekonomi tinggi menghambur-hamburkan harta untuk sesuatu yang tidak bermanfaaat bisa tersulut rasa benci dan permusuhan mereka. Jikalau harta yang demikian melimpah itu dimanfaatkan untuk mengentaskan kemiskinan tentu akan terjalin keharmonisan dan cinta kasih antara si kaya dan si miskin.
d)     Zakat akan memacu pertumbuhan ekonomi pelakunya dan yang jelas berkahnya akan melimpah.
e)      Membayar zakat berarti memperluas peredaran harta benda atau uang, karena ketika harta dibelanjakan maka perputarannya akan meluas dan lebih banyak fihak yang mengambil manfaat.
D.Pengaruh Zakat dalam Ekonomi
Zakat merupakan ketentuan yang wajib dalam sistem ekonomi islam (obligatory zakat system) sehingga pelaksanaannya melalui institusi resmi negara yang memliki ketentuan hukum. Zakat dikumpulkan, dikelola, atau di distribusikan melalui lembaga baitul mal.
Ketentuan yang ditetapkan Allah Swt pada semua aspek kehidupan manusia pada umumnya memiliki dua fungsi utama yang memberikan manfaat bagi individu (nafs) dan kolektif (jama’i). Demikian pula halnya dengan sistem zakat dalam ekonomi islam yang befungsi sebagai alat ibadah bagi orang yang membayar zakat (muzakki) yang memberikan kemanfaatan individu (nafs), dan berfungsi sebagai penggerak ekonomi bagi orang-orang dilingkungan yang menjalankan sistem zakat ini, yang memberikan kemanfaatan kolektif (jama’i).
                      Adapun pengaruh zakat pada Ekonomi,diantaranya:
1)Zakat mendorong pemilik modal mengelola hartanya.
Zakat mal itu dikenakan pada harta diam yang dimiliki seseorang setelah satu tahun, harta yang produktif tidak dikenakan zakat. Jadi, jika seseorang menginvestasikan hartanya, maka ia tidak dikenakan kewajiban zakat mal. Hal ini dipandang mendorong produktifitas, karena uang yang selalu diedarkan di masyarakat, akhirnya perputaran uang beredar bertambah. Akhirnya perekonoian suatu negara akan berjalan lebih baik.
2)  Meningkatkan etika bisnis. Kewajiban zakat dikenakan pada harta yang diperoleh dengan cara yang halal. Zakat memang menjadi pembersih harta, tetapi tidak membersihkan harta yang diperoleh secara batil. Maka hal ini akan mendorong pelaku usaha agar memperhatikan etika bisnis
3)     Pemerataan pendapatan. Pengelolaan zakat yang baik, dan alokasi yang tepat sasaran akan mengakibatkan pemerataan pendapatan. Hal inilah yang dapat memecahkan permasalahan utama bangsa Indonesia (kemiskinan). Kemiskinan di Indonesia tidak terjadi karena sumber pangan yang kurang, tetapi distribusi bahan makanan itu yang tidak merata, sehingga banyak orang yang tidak memiliki kemudahan akses yang sama terhadap bahan pangan tersebut. Dengan zakat, distribusi pendapatan itu akan lebih merata dan tiap orang akan memiliki akses lebih terhadap distribusi pendapatan.
4)  Pengembangan sektor riil. Salah satu cara pendistribusian zakat dapat dilakukan dengan memberikan bantuan modal usaha bagi para mustahiq. Pendistribusian zakat dengan cara ini akan memberikan dua efek yaitu meningkatkan penghasilan mustahiq dan juga akan berdampak pada ekonomi secara makro. Usaha yang dilakukan tersebut merupakan usaha yang meningkatkan sektor riil, menggerakkan pertumbuhan dan aktifitas perekonomian. Hal ini sangat erat kaitannya dengan daya saing kompetitif dan komparatif suatu bangsa. Ukuran produktifitas suatu bangsa dapat dilihat dari kemampuan sektor riil-nya dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat.
Sumber dana pembangunan. Banyak kaum dhuafa yang sangat sulit mendapatkan fasilitas kesehatan, pendidikan, maupun sosial ekonomi. Lemahnya fasilitas ini akan sangat berpengaruh dalam kehidupan kaum termarjinal. Kesehatan dan pendidikan merupakan modal dasar agar SDM yang dimiliki oleh suatu negara berkualitas tinggi.Peran dana zakat sebagai sumber dana pembangunan fasilitas kaum dhuafa akan mendorong pembangunan ekonomi jangka panjang. Dengan peningkatan kesehatan dan pendidikan diharapkan akan memutus siklus kemiskinan antar generasi.
 

Strategi Pembangunan Zakat Nasional

Salah satu upaya mendasar dan fundamental untuk mengentaskan atau memperkecil masalah kemiskinan adalah dengan cara mengoptimalkan pelaksanaan zakat. Demikian pendapat Dr Yusuf Qardlawi, salah seorang ulama dan penulis yang sangat produktif, dalam sebuah bukunya yang berjudul Musykilatul Faqri wa Kaifa 'Aalajaha al-Islam (Problematika Kefakiran/Kemiskinan dan Bagaimana Solusinya menurut Islam). Hal itu dikarenakan zakat adalah sumber dana yang tidak akan pernah kering dan habis. Maksudnya, selama umat Islam memiliki kesadaran untuk berzakat dan selama dana zakat tersebut mampu dikelola dengan baik, maka dana zakat akan selalu ada serta bermanfaat untuk kepentingan dan kemaslahatan masyarakat. Kita bisa melihat bahwa pertumbuhan pengelolaan zakat di Indonesia sangat menggembirakan, terutama dalam 15 tahun terakhir. Jika sebelum tahun 1990-an pengelolaan zakat masih bersifat terbatas, tradisional, dan individual, maka sesudah itu, pengelolaan zakat memasuki era baru. Unsur-unsur profesionalisme dan manajemen modern mulai coba diterapkan. Salah satu indikatornya adalah bermunculannya badan-badan dan lembaga-lembaga amil zakat baru yang menggunakan pendekatan-pendekatan baru --yang berbeda dengan sebelumnya. Implikasinya, amil kini telah tumbuh menjadi profesi baru. Amil tidak lagi dipandang sebagai profesi sambilan, yang dikerjakan secara asal-asalan, dan dengan tenaga dan waktu sisa. Saat ini, amil memerlukan konsentrasi dan aktivitas kerja secara full time. Amil juga tidak lagi menjadi aktivitas yang dilaksanakan menjelang Idul Fitri saja, melainkan sebuah profesi yang dikerjakan sepanjang waktu. Memasuki pintu negara Pada akhir dekade 90-an, tepatnya pada tahun 1999, pengelolaan zakat mulai memasuki level negara, setelah sebelumnya hanya berkutat pada tataran masyarakat. Hal tersebut ditandai dengan disahkannya Undang-undang (UU) No 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat. UU inilah yang menjadi landasan legal formal pelaksanaan zakat di Indonesia, walaupun di dalam pasal-pasalnya masih terdapat berbagai kekurangan dan kelemahan yang harus diperbaiki dan disempurnakan. Sebagai konsekuensi UU tersebut, pemerintah (tingkat pusat sampai daerah) wajib memfasilitasi terbentuknya lembaga pengelola zakat. Yaitu Badan Amil Zakat Nasional(BAZNAS) untuk tingkat pusat dan Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) untuk tingkat daerah. BAZNAS dan BAZDA-BAZDA bekerja sama dengan Lembaga Amil Zakat (LAZ), baik yang bersifat nasional maupun daerah. Sehingga diharapkan bisa terbangun sebuah sistem zakat nasional yang baku, yang bisa diaplikasikan oleh semua pengelola zakat. Pemerintah pusat maupun daerah diharapkan memberikan perhatian penuh terhadap lembaga zakat ini, sehingga bisa bekerja secara profesional dan transparan. Dengan cara ini diharapkan problematika kemiskinan yang terjadi di negara kita secara bertahap dapat direduksi. Strategi pokok Secara nasional, zakat memiliki potensi menggembirakan. Menurut sebuah studi, potensinya mencapai angka Rp 6-7 triliun setiap tahun. Dalam studi lain, PIRAC menemukan potensi zakat mencapai Rp 4,3 triliun. Namun dalam riset terbaru yang dilakukan oleh Pusat Budaya dan Bahasa UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, potensi tersebut mencapai angka Rp 19,3 triliun. Menurut analisa penulis, potensi zakat saat ini memang mencapai angka Rp 19-20 triliun. Idealnya, potensi zakat itu mestinya minimal 2,5 persen dari total GDP negara. Tentu saja, data-data tersebut memberikan gambaran kepada kita bahwa zakat bila dikelola dengan baik bisa menjadi sumber kekuatan dalam memberdayakan kondisi perekonomian negara dan masyarakat. Untuk itu, dibutuhkan dukungan kuat dari seluruh pihak, agar pengelolaan zakat ini dapat terlaksana dengan baik. Pada kesempatan ini, penulis ingin menguraikan beberapa strategi pokok pembangunan zakat ke depan. Paling tidak, ada empat strategi yang harus dikembangkan. Pertama, meningkatkan sosialisasi kepada seluruh komponen bangsa. Yang menjadi target utama sosialisasi ini adalah kalangan pejabat, baik eksekutif, legislatif, yudikatif, ulama, akademisi, praktisi bisnis, dan masyarakat umum secara keseluruhan. Tujuannya agar elemen-elemen tersebut memiliki kesadaran kolektif akan urgensi dan pentingnya berzakat, terutama berzakat melalui lembaga yang amanah, baik BAZ maupun LAZ. Para pejabat, misalnya, diharapkan mengeluarkan kebijakan yang senantiasa memiliki orientasi keberpihakan nyata terhadap pemungutan dan pendistribusian zakat. Sehingga berbagai hambatan regulasi dan aturan dapat diminimalisasi. Kalangan ulama pun diharapkan menjadi agen pemberi informasi zakat yang tepat kepada masyarakat. Hendaknya masyarakat dibimbing untuk berzakat melalui BAZ dan LAZ yang dapat dipercaya. Dan masih banyak contoh lain. Pendeknya, semua pihak harus memiliki kesadaran bahwa berzakat melalui lembaga memberikan keuntungan-keuntungan. Antara lain menjamin efektivitas, efisiensi, dan ketepatan sasaran dalam pendayagunaan zakat. Kedua, penguatan lembaga-lembaga zakat yang ada, baik BAZ maupun LAZ. Ada beberapa aspek yang perlu diperkuat. Antara lain sumber daya manusia (SDM), program kerja, standardisasi mekanisme kerja dan auditing, penguatan database muzakki dan mustahik, serta regulasi yang mendukung perkembangan BAZ dan LAZ. BAZNAS sebagai lembaga zakat di tingkat nasional harus menjadi akselerator proses penguatan ini. SDM yang ada haruslah memiliki komitmen kuat. Antara lain diindikasikan kesediannya mencurahkan waktu secara khusus sebagai amil, mengembangkan kemampuan mengelola dan mendayagunakan zakat, serta senantiasa mengedepankan prinsip-prinsip kejujuran, profesionalisme, dan transparansi dalam setiap aktivitasnya. Kemudian pelatihan-pelatihan yang mendorong pada peningkatan skill dan keterampilan perlu diperbanyak kuantitasnya, serta ditingkatkan kualitasnya. Sementara itu, setiap BAZ dan LAZ harus memiliki program kerja yang jelas dan terukur. Sasaran-sasaran program harus dapat didefinisikan secara jelas dan gamblang. Kemudian perlu juga dibangun standar mekanisme kerja BAZ/LAZ, yang didukung mekanisme audit yang transparan, sebagai bukti public accountability BAZ/LAZ. Memang, penulis akui, sampai saat ini belum ada standar yang bersifat nasional. Karena itu, diharapkan BAZNAS periode sekarang mampu merumuskan standardisasi ini, yang tentu saja dengan dukungan dan bantuan pihak-pihak lain, termasuk masukan-masukan dari BAZ dan LAZ. Ketiga, mengefektifkan pendayagunaan zakat. Dalam langkah ini, ada dua indikator utama yang menentukan apakah dana zakat telah didayagunakan secara tepat atau tidak. Indikator pertama adalah shariah-compliance, kesesuaian dengan nilai-nilai syariat Islam. Ini sangat penting karena zakat adalah ibadah yang memiliki rambu-rambu syariah jelas. Indikator kedua adalah ketepatan sasaran berdasarkan skala prioritas. Hal ini sangat penting agar dana zakat tidak jatuh kepada orang-orang yang tidak berhak menerima. Keempat, mengembangkan sinergi antar BAZ dan LAZ yang ada, termasuk dengan komponen masyarakat lainnya, seperti lembaga keuangan syariah. Sinergisitas adalah kunci keberhasilan pembangunan zakat di Indonesia. Sebagai contoh, penguatan database muzakki dan mustahik tidak akan mungkin tercapai bila tidak ada sinergi antarlembaga pengelola zakat. Hingga saat ini, kita belum memiliki data yang akurat mengenai jumlah muzakki dan mustahik di Indonesia, termasuk peta persebarannya. Untuk itu, masalah ketersediaan database ini menjadi sesuatu yang urgen. Penulis berharap, melalui sinergi yang terjalin dengan kuat, di mana di dalamnya terdapat unsur saling tsiqoh dan percaya yang kuat, maka pembangunan zakat secara nasional akan dapat berjalan dengan baik. Wallahu a'lam. KH Dr Didin Hafidhuddin, Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional Sumber: Republika Online