Secara
umum, tugas kekhalifahan manusia adalah tugas mewujudkan kemakmuran dan
kesejahteraan dalam hidup dan kehidupan(al-An’aam: 165) serta tugas
pengabdian atau ibadah dalam arti luas (Adz-Dzaariyaat: 56). Untuk
menunaikan tugas tersebut, Allah SWT memberi manusia dua anugerah nikmat
utama, yaitu manhaj al-hayat ‘sistem kehidupan’ dan wasilah al-hayat
‘sarana kehidupan’, sebagaimana firman-Nya,
“Tidakkah
kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk
(kepentingan)mu apa yang ada di langit dan apa yang di bumi, dan
menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan, diantara manusia
ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau
petunjuk dan tanpa kitab yang memberi penerangan.” (Luqman: 20)
Manhaj al-hayat adalah seluruh aturan kehidupan manusia yang bersumber kepada Al-Quran dan Sunnah Rasul. Aturan tersebut berbentuk keharusan melakukan atau sebaiknya melakukan sesuatu, juga dalam bentuk larangan melakukan atau sebaliknya meninggalkan sesuatu. Aturan tersebut dikenal sebagai hukum lima, yakni wajib, sunnah(mandub), mubah, makruh, atau haram.
Aturan-aturan
tersebut dimaksudkan untuk menjamin keselamatan manusia sepanjang
hidupnya, baik yang menyangkut keselamatan agama, keselamatan diri (jiwa
dan raga), keselamatan akal, keselamatan harta benda, maupun
keselamatan nasab keturunan. Hal-hal tersebut merupakan kebutuhan pokok
atau primer (al-haajat adh-dharuriyyah).
Pelaksanaan
Islam sebagai way of life secara konsisten dalam semua kegiatan
kehidupan, akan melahirkan sebuah tatanan kehidupan yang baik, sebuah
tatanan yang disebut sebagai hayatan thayyibah (an-Nahl:97).
Sebaliknya,
menolak atura itu atau sama sekali tidak memiliki keinginan
mengaplikasikannya dalam kehidupan, akan melahirkan kekacauan dalam
kehidupan sekarang, ma’isyatan dhanka atau kehidupan yang sempit, serta
kecelakaan di akhirat nanti (Thaahaa: 124-126)
Aturan-aturan
itu juga diperlukan untuk mengelola wasilah al-hayah atau segala sarana
dan prasarana kehidupan yang diciptakan Allah SWT untuk kepentingan
hidup manusia secara keseluruhan. Wasilah al-hayah ini dalam bentuk
udara, air, tumbuh-tumbuhan, hewan ternak, dan harta benda lainnya yang
berguna dalam kehidupan.
“Dialah
Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia
berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan,
Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”(al-Baqarah: 29)
Sebagaimana
keterangan di atas, Islam mempunyai pandangan yang jelas mengenai harta
dan kegiatan ekonomi. Pandangan tersebut dapat diuraikan sebagai
berikut.
Pertama,
pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini,
termasuk harta benda, adalah milik Allah SWT. Kepemilikan oleh manusia
hanya bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan
memanfaatkan sesuai dengan ketentuan-Nya.
“Berimanlah
kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu
yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka, orang-orang yang
beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya
mendapatkan pahala yang besar.” (al-Hadiid: 7)
“..dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruiakan-Nya kepada kalian...” (an-Nuur: 33)
Dalam sebuah hadits riwayat Abu Dawud, Rasulullah saw bersabda,
“Seseorang
pada Hari Akhir nanti pasti akan ditanya tentang empat hal: usianya
untuk apa dihabiskan, jasmaninya untuk apa dipergunakan, hartanya dari
mana didapatkan dan untuk apa dipergunakan, serta ilmunya untuk apa dia
pergunakan.”
Kedua, status harta yang dimiliki manusia adalah sebagai berikut:
1. Harta sebagai amanah (titipan, as a truth) dari Allah SWT. Manusia hanyalah pemegang amanah karena memang tidak mampu mengadakan benda dari tiada. Dalam bahasa Einstein, manusia tidak mampu menciptakan energi; yang mampu manusia lakukan adalah mengubah dari satu bentuk energi ke bentuk energi yang lain. Pencipta awal segala energi adalah Allah SWT.
2. Harta sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya dengan baik dan tidak berlabih-lebihan. Manusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk memiliki, menguasai, dan menikmati harta. Firman-Nya, "Dijadikan indah pada(pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)." (Ali Imran:14) Sebagai perhiasan hidup, harta sering menyebabkan keangkuhan, kesombongan, serta kebanggaan diri (al-'Alaq:6-7)
3. Harta sebagai ujian keimanan. Hal ini terutama menyangkut soal cara mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam ataukah tidak(al-anfal: 28)
4. Harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksanakan perintah-Nya dan melaksanakan muamalah diantara sesama manusia, melalui kegiatan zakat, infak, sedekah (at-Taubah: 41, 60; Ali Imran:133-134)
Ketiga:
pemilikan harta dapat dilakukan antara lain melalui usaha(amal) atau
mata pencaharian (ma'isyah) yang halal dan sesuai dengan aturan-Nya.
banyak ayat Al-Quran dan hadits Nabi yang mendorong umat Islam bekerja
mencari nafkah secara halal.1. Harta sebagai amanah (titipan, as a truth) dari Allah SWT. Manusia hanyalah pemegang amanah karena memang tidak mampu mengadakan benda dari tiada. Dalam bahasa Einstein, manusia tidak mampu menciptakan energi; yang mampu manusia lakukan adalah mengubah dari satu bentuk energi ke bentuk energi yang lain. Pencipta awal segala energi adalah Allah SWT.
2. Harta sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya dengan baik dan tidak berlabih-lebihan. Manusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk memiliki, menguasai, dan menikmati harta. Firman-Nya, "Dijadikan indah pada(pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)." (Ali Imran:14) Sebagai perhiasan hidup, harta sering menyebabkan keangkuhan, kesombongan, serta kebanggaan diri (al-'Alaq:6-7)
3. Harta sebagai ujian keimanan. Hal ini terutama menyangkut soal cara mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam ataukah tidak(al-anfal: 28)
4. Harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksanakan perintah-Nya dan melaksanakan muamalah diantara sesama manusia, melalui kegiatan zakat, infak, sedekah (at-Taubah: 41, 60; Ali Imran:133-134)
"Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya...(al-Mulk:15)
"Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik.."(al-Baqarah: 267)
Ayat yang semakna akan kita temukan pada surah at-Taubah: 105, al-Jum'ah;10, juga dikemukakan dalam beberapa hadits, antara lain berikut ini.
"Sesungguhnya Allah mencintai hamba-Nya yang bekerja. Barang siapa yang bekerja keras mencari nafkah yang halal untuk keluarganya maka sama seperti mujahid di jalan Allah." (HR Ahmad)
"Mencari rezeki yang halal adalah wajib setelah kewajiban yang lain."(HR Thabrani)
Keempat: dilarang mencari harta, berusaha, atau bekerja yang dapat melupakan kematian (at-Takaatsur: 1-2), melupakan dzikrullah (tidak ingat kepada Allah dengan segala ketentuan-Nya) (al-Munaafiquun: 9), melupakan shalat dan zakat (an-Nuur: 37), dan memusatkan kekayaan hanya pada sekelompok orang kaya saja (al-Hasyr: 7).
Kelima: dilarang menempuh usaha yang haram, seperti melalui kegiatan riba (al-Baqarah: 273-281), perjudian, berjual beli barang yang dilarang atau haram (al-Maa'idah:90-91), mencuri, merampok, penggasaban (al-Maaidah: 38), curang dalam takaran dan timbangan (al-Muthaffifiin: 1-6), melalui cara-cara yang batil dan merugikan (al-Baqarah: 188), dan melalui suap-menyuap (HR Imam Ahmad).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar